Kepemimpinan (leadership) didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang agar mau mengikuti arahannya atau mengikuti keputusannya (leadership is the ability to influence people to willingly follow one’s guidance or adhere to one’s decisions).[1] Menurut definisi ini nampak keberhasilan menjalankan peran kepemimpinan sangat tergantung kepada pemimpin itu saja, sedangkan faktor bawahan dan situasi yang dihadapi dianggap tidak menentukan. Namun, Wagner III dan Hollenbeck mengatakan bahwa sesungguhnya pemimpin tidak selalu menentukan, bahkan kadang-kadang seorang pemimpin memimpin adalah karena dipaksakan atau diberikan sangsi oleh para pengikutnya. Jadi tidak semua kegiatan manusia adalah kepemimpinan, melainkan hanya terjadi dalam konteks kelompok yang berorientasi pada tujuan.[2] Pemimpin harus mampu menjalin kerja sama dengan orang lain di dalam kelompoknya.[3]
Menurut Kouzes dan Posner kepemimpinan didefinisikan secara agak berbeda dari pengertian di atas, yakni hubungan timbal balik antara mereka yang memilih untuk memimpin dan mereka yang memilih untuk mengikuti, jadi kepemimpinan menyangkut dinamika hubungan yang timbul karena adanya kebutuhan di antara pemimpin dan yang dipimpin.[4]
Weihrich dan Koontz mendefinisikan kepemimpinan sebagai pengaruh, yakni seni atau proses mempengaruhi orang lain sehingga mereka mau berusaha dengan sukarela dan bersemangat untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok.[5] Dari kedua definisi di atas jika dibandingkan, jelas bahwa definisi kedua menambahkan cara mempengaruhi orang lain tidak dengan cara memaksa, melainkan dengan cara persuasi yang mempertimbangkan dimensi emosi manusia sehingga jika orang lain mengikuti pemimpinnya semata-mata karena sukarela dan merasa senang. Upaya mempengaruhi sisi emosi manusia diakui memang membutuhkan proses yang bertahap dan bersifat seni. Namun segala aspek mengenai seni seringkali bersifat subyektif, dalam arti sangat ditentukan oleh individu yang memimpin. Secara ideal bahwa seseorang seharusnya didorong untuk berkembang tidak hanya mau bekerja tetapi juga mau bekerja dengan bersemangat dan penuh keyakinan. Semangat adalah hasrat, kesungguhan, dan intensitas untuk melaksanakan pekerjaan; sementara keyakinan mencerminkan pengalaman dan kemampuan teknis. Pemimpin berbuat untuk membantu kelompok mencapai tujuannya melalui penerapan kemampuan dengan maksimal.
Rost mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu hubungan pengaruh antara pemimpin dan pengikut yang bermaksud melakukan perubahan yang mencerminkan maksud bersama mereka.[6] Selanjutnya, kepemimpinan diartikan juga sebagai proses mempengaruhi orang untuk mengarahkan upaya mereka mencapai tujuan-tujuan tertentu.[7] Mant mengemukakan bahwa kepemimpinan berhubungan dengan dua aspek yang cukup berbeda, yakni: proses yang berlangsung antara pemimpin dan pengikut (terutama aspek emosional dan intelektual) dan konteks dari kepemimpinan (berhubungan dengan tujuan yang diinginkan pemimpin, biasanya rasional dan emosional).[8]
Definisi tersebut tidak memfokuskan pada kegiatan manusia di dalam perusahaan sehingga arti kepemimpinan di sini bersifat umum. Namun dikatakan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mempunyai visi tentang mau dibawa ke mana organisasinya, mempunyai kemampuan untuk membangkitkan semangat para pengikutnya untuk mencapai tujuan. Suatu visi di dalam organisasi tidak dapat dibentuk dengan cara membuat maklumat, atau menggunakan kekuatan atau pemaksaan.[9]
Oleh karena itu, sebagian pemimpin ada yang efektif dan banyak juga yang tidak. Efektif atau tidak efektif seorang pemimpin ditentukan oleh dua faktor: (1) karakteristik kepemimpinan seperti yang dijelaskan dalam teori sifat kepemimpinan (trait theory) dan (2) karakteristik pribadi, seperti: kemampuan mental yang superior, kematangan emosi, dorongan emosi, ketrampilan pemecahan masalah, ketrampilan manajerial, dan ketrampilan kepemimpinan.[10]
Kepemimpinan didefinisikan juga sebagai penggunaan pengaruh oleh seseorang anggota dari suatu kelompok atau organisasi atas anggota kelompok yang lain untuk membantu kelompok atau organisasi tersebut mencapai tujuannya.[11]
Ada dua unsur yang menonjol dalam definisi ini, pertama, kepemimpinan menyangkut penggunaan pengaruh atas anggota yang lain dari suatu kelompok atau organisasi, kedua membantu kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuannya. Efektivitas pemimpin ditentukan oleh intensitas pemimpin tersebut membantu organisasi mencapai tujuannya. Jadi pemimpin yang efektif adalah yang membantu mencapai tujuan, sedangkan yang tidak efektif adalah yang tidak membantu mencapai tujuan.[12]
Kepemimpinan didefinisikan sebagai perilaku yang bermaksud untuk mempengaruhi orang lain supaya memberikan kontribusi pada tujuan yang disepakati untuk memberikan manfaat bagi para individu termasuk organisasi atau keduanya.[13]
Jago mendefinisikan kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh yang tidak memaksa untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan anggota dari suatu kelompok yang terorganisasikan untuk mencapai tujuan dari kelompok tersebut.[14]
Menurut definisi di atas pemimpin melaksanakan beberapa fungsi penting untuk kelompoknya. Pemimpin bertanggung jawab untuk menghasilkan dan memelihara tingkat upaya yang dibutuhkan dari para anggota kelompok secara individual. Dalam konteks ini, pemimpin bertanggung jawab mengarahkan upaya individu dengan cara-cara yang meningkatkan daya tahan dan pencapaian tujuan kelompok. Satu aspek yang penting dalam mengarahkan kelompok adalah menjamin adanya koordinasi antaranggota kelompok. Kemudian pemimpin memfasilitasi keanggotaan kelompok dengan menarik orang lain beserta misinya ke kelompok, dan memenuhi kebutuhan anggota kelompok.
Stoner dan kawan-kawan mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses untuk mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berhubungan dengan tugas dari anggota kelompok.[15] Definisi ini mempunyai empat implikasi kepemimpinan. Pertama, dalam kepemimpinan menyangkut orang lain-karyawan atau pengikut. Dengan kemauannya untuk mendengar arahan dari pemimpin maka anggota kelompok dapat membantu menentukan status kepemimpinan dan menjadikan proses kepemimpinan berlangsung karena tanpa ada orang yang dipimpin maka semua kualitas kepemimpinan yang ada pada manajer menjadi tidak relevan.
Kedua, kepemimpinan menyangkut distribusi kekuatan yang tidak merata antara pemimpin dan para anggota kelompok. Ketiga, kepemimpinan menyangkut kemampuan menggunakan berbagai bentuk kekuatan untuk mempengaruhi perilaku para pengikut dengan berbagai cara. Keempat, kepemimpinan menyangkut nilai-nilai, dan ini mengkombinasikan tiga aspek di atas. Pemimpin yang mengabaikan unsur moral akan menjadi lebih buruk.[16]
Kouzes dan Posner mengklasifikasikan nilai-nilai ini menjadi dua: (1) nilai-nilai kultural perusahaan seperti kepercayaan, solidaritas, pelayanan, dan pelatihan; (2) nilai-nilai pribadi secara individual, termasuk tanggung jawab, ketepatan, kejujuran, rendah hati, kecermatan, kesabaran, pelayanan, dan upaya untuk mencari kualitas pribadi yang menyeluruh.[17]
Dengan nilai-nilai yang dimiliki pemimpin maka dia dituntut memimpin dengan memberikan contoh (lead by example) dan memungkinkan: menantang proses, menginspirasi visi yang merata, mendorong orang lain bertindak, menjadi model bertindak, dan meningkatkan semangat.[18]
Kepemimpinan diartikan pula sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas seorang individu atau kelompok dalam upayanya mencapai tujuan di dalam situasi tertentu.[19] Dari definisi tersebut bahwa proses kepemimpinan merupakan fungsi dari tiga variabel yakni: pemimpin, pengikut, dan situasi. Kepemimpinan didefinisikan sebagai seorang individu menggunakan pengaruh yang bersifat meningkat atas orang lain dengan tingkat kepatuhan di atas atau melebihi arah yang rutin.[20]
Menurut definisi tersebut bahwa kepemimpinan baru terjadi bilamana individu mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu dengan cara sukarela dan dengan hasil di atas persyaratan minimum dari peran pekerjaannya.[21] Pemimpin dapat menggunakan kekuatan supaya orang lain patuh dengan sukarela. Pemimpin harus membangun budaya yang meningkatkan kepercayaan, partisipasi, komunikasi, inspirasi, dan pemberdayaan perorangan.[22]
Seperti dikatakan oleh Bennis bahwa pemimpin pertama-tama menciptakan kondisi yang meningkatkan kemampuan semua karyawan untuk membuat keputusan dan menciptakan perubahan serta membantu para pengikutnya untuk mencapai potensi kepemimpinan mereka secara penuh. [23] Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, siapa saja dapat menjadi pemimpin di organisasi apakah dia secara individual diangkat atau tidak diangkat. Bagi sebagian besar organisasi bahwa pemimpin nonformal sangat penting bagi efektivitas organisasi.[24] Namun Mendenhall dan kawan-kawan membedakan secara tegas antara pemimpin dengan orang pada umumnya, paling tidak dalam tiga hal pembeda, yakni:
1. Pemimpin mempunyai visi, suatu obsesi tentang apa yang perlu dicapai di dalam organisasi, kelompok, atau masyarakat. Pemimpin melihat ke depan ke mana kelompok seharusnya dibawa.
2. Pemimpin memberikan inspirasi kepada orang lain agar mengikuti visinya, bekerja untuk mewujudkannya. Secara umum, visi memberikan semangat kepada pemimpin untuk bekerja keras dan mempunyai energi fisik yang tinggi serta semangat yang diikuti oleh para pengikutnya. Pemimpin juga dapat membujuk mayoritas dari kelompoknya agar bekerja mencapai visinya.
3. Pemimpin dapat mengorganisasikan para pengikutnya secara kompak, kelompok yang loyal, dan memberikan imbalan kepada pengikutnya agar mereka tetap pada tujuan untuk mencapai visinya.[25]
Robbins mengartikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan.[26] Sumber pengaruh ini dapat bersifat formal seperti posisi struktural yang diberikan organisasi untuk memimpin unit kerja tertentu, atau bersifat informal. Definisi kepemimpinan lainnya adalah diartikan sebagai suatu hubungan pengaruh antara pemimpin dan pengikut yang bermaksud melakukan perubahan riil yang dicerminkan oleh maksud bersama mereka.[27]
Definisi terakhir ini mengandung beberapa unsur pokok. Di antaranya, kepemimpinan menyangkut pengaruh yang terjadi antarmanusia, orang-orang ini secara sengaja bermaksud melakukan perubahan yang signifikan dan perubahan itu mencerminkan adanya maksud bersama antara pemimpin dan pengikut. Pengaruh di sini berarti hubungan antarmanusia tidak bersifat pasif, dan terkandung dalam definisi tersebut bahwa pengaruh bersifat multi arah dan tidak memaksa. Namun kepemimpinan bersifat timbal balik. Dalam berbagai organisasi atasan mempengaruhi bawahan, tetapi bawahan juga mempengaruhi atasan. Semua orang yang terlibat di dalam kepemimpinan ini menginginkan perubahan yang substansial.[28]
Kepemimpinan atau peranan seorang pemimpin menurut Siegel dan Lane hanya merupakan satu komponen dari suatu pekerjaan manajerial.[29] Adapun pengertian kepemimpinan itu sendiri adalah kemampuan untuk memberikan semangat kepada orang dan membujuk anggota organisasi agar bergerak menuju ke arah yang diinginkan.[30] Hunt mendefinisikan kepemimpinan adalah kapasitas untuk memobilisasikan pengikut dalam berkompetisi atau dalam konflik kebutuhan potensial.[31] Sedangkan menurut Terry dan kawan-kawan, kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang lain agar mau berusaha mencapai tujuan kelompok.[32]
Esensi kepemimpinan ini pada dasarnya adalah untuk membantu orang lain agar menampilkan segala potensi terbaiknya untuk kepentingan organisasi. Namun karakteristik pengikut atau bawahan berbeda satu sama lain, dan karena itu dalam kepemimpinan mencakup berbagai gaya yang dapat diterapkan.
[1]Leslie W. Rue dan Lloyd L. Byars, Supervision Key Link to Productivitiy (Chicago: Richard D. Irwin, 1996), p. 286.
[2]John A. Wagner III dan John R. Hollenbeck, Management of Organizational Behavior (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1992), p. 410.
[3] Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), p. 85.
[4]James M. Kouzes dan Barry Z. Posner, Kredibilitas, terjemahan Anton Adiwiyoto (Jakarta: Professional Books, 1997), p. 33.
[5]Heinz Weihrich dan Harold Koontz, Management: A Global Perspective (New York: McGraw-Hill, Inc., 1993), p. 490.
[6]Joseph C. Rost , Leadership for the Twenty-First Century, (2001), p. 2 (http://www.joe.org/joe/1994june/tt3.html).
[7]Richard M. Hodgetts, Modern Human Relations at Work (Florida: The Dryden Press, 1999), p. 255.
[8]Alistair Mant, Intelligent Leadership (Sydney: Griffin Press, 1997), p. 22.
[9]Warren Bennis, Jagdish Parikh dan Ronnie Lessem, Beyond Leadership: Balancing Economics, Ethics and Ecology (London: Blackwell Publishers, 1995), p. 60.
[10]Hodgetts, op. cit., pp. 255-258.
[11]Jennifer M. George dan Gareth R. Jones, Understanding and Managing Organizational Behavior (New York: Addison-Wesley Publishing Company, Inc., 1996), p. 359.
[12]Ibid., p. 359.
[13]James C. Sarros dan Oleh Butchatsky, Leadership (Sydney: HarperBusiness, 1997), p. 3.
[14]Wagner III dan Hollenbeck, op. cit., p. 411.
[15]James A.F. Stoner, R. Edward Freeman dan Daniel R. Gilbert, Jr., Management (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1995), p. 470.
[16]Ibid., p. 470.
[17]James M. Kouzes dan Barry Z. Posner, The Leadership Challenge: How to Keep Getting Extraordinary Things Done in Organizations (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1995), pp. 6-7.
[18]Ibid., pp. 8-9.
[19]Paul Hersey, Kenneth H. Blanchard dan Dewey E. Johnson, Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1996), p. 91.
[20]David J. Cherrington, Organizational Behavior: The Management of Individual and Organizational Performance (Massachusetts: Allyn and Bacon, 1994), p. 618.
[21]Richard M. Steers, Lyman W. Porter dan Gregory A. Bigley, Motivation and Leadership at Work (New York: The McGraw-Hill Companis, Inc., 1996), p. 166.
[22]Bob Wall, Robert S. Solum dan Mark R. Sobol, Pemimpin yang Bervisi Kuat, terjemahan Zoelkifli Kasip (Batam: Interaksara, 1999), p. 55.
[23]Warren Bennis, “Menjadi Pemimpin dari Para Pemimpin,” Rethinking the Future ed. Rowan Gibson , terjemahan Hikmat Kusumaningrat (Jakarta: PT Gramedia, 1996), p. 272.
[24]Cherrington, op. cit., pp. 618-619.
[25]Mark Mendenhall, Betty Jane Punnett dan David Ricks, Global Management (Massachusetts: Blackwell Publishers, 1995), p. 570.
[26]Stephen P. Robbins, Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications (New Jersey: A Simon & Schuster Company, 1998), p. 347.
[27]Richard L. Daft, Leadership: Theory and Practice (Fort Worth, Texas: The Dryden Press, 1999), p. 5.
[28]Ibid., p. 5.
[29]Laurence Siegel dan Irving M. Lane, Personnel and Organizational Psychology (Illinois: Richard D. Irwin, Inc., 1987), p. 484.
[30]Bengt Karlof dan Svante Ostblom, Benchmarking: A Signpost to Excellence in Quality and Productivity (London: John Wiley & Sons, Ltd., 1994), p. 20.
[31]John W. Hunt, Managing People at Work: A Manager’s Guide to Behaviour in Organization (London: McGraw-Hill, Inc., 1992), p. 242.
[32]Hersey, Blanchard dan Johnson, op. cit., pp. 90-91.
Sunday, May 27, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment