Sunday, May 27, 2007

KINERJA PEGAWAI

Kata performance dalam bahasa inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sering berbeda, sampai sekarang belum dibakukan. Ada yang menerjemahkan sebagai : unjuk kerja, kinerja, hasil karya, karya, pelaksanaan kerja, hasil pelaksanaan kerja.
Ilyas (1999:65) menerjemahkan performance menjadi unjuk kerja, sedangkan Wahyudi (1996:34) menerjemahkan menjadi prestasi kerja. Menurut The Scribner-Bantam English Dictionary, terbitan Amerika dan Canada tahun 1979, (dalam Prawirosentono, 1991:1) kinerja berasal dari akar kata “to form” yang mempunyai beberapa “entries” berikut :
1) To do carry out; execute (melakukan, menjalankan, melaksanakan).
2) To dischange or fulfil; as a vow (memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar).
3) To portray, as a character in a play (menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan).
4) To render by voice or a musical instrument (menggambarkan dengan suatu atau alat musik).
5) To execute or complete an undertaking (melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab).
6) To act a part in a play (melakukan sesuatu kegiatan dalam suatu permainan).
7) To perform music (memainkan/pertunjukan musik)
8) To do what is expected of a person or machine (melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka arti performance atau kinerja adalah sebagi berikut : Kinerja (Performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Disamping itu, kinerja (performance) diartikan sebagai hasil kerja seseorang pegawai, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat ditunjukan buktinya secara konkrit dan dapat diukur (dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan).
Mangkunegara (2001:67) mendifinisikan kinerja (prestasi kerja) sebagai berikut: “Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Sedangkan Bernardin dan Russel (1993:397), mengatakan pengertian bahwa: “kinerja pegawai tergantung pada kemampuan, usaha kerja dan kesempatan kerja yang dapat dinilai dari out put”. Timpe (1993:ix), mengemukakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah: “Tingkat kinerja individu, yaitu hasil yang diinginkan dari perilaku individu.
Kinerja merupakan penampilan hasil karya seseorang dalam bentuk kualitas ataupun kuantitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja pegawai. Tiga hal penting dalam kinerja adalah tujuan, ukuran, dan penilaian.
Penentuan tujuan setiap unit organisasi merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberikan arah dan mempengaruhi bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi dari setiap personel. Tetapi ternyata tujuan saja tidak cukup, sebab itu diperlukan ukuran apakah seseorang personel telah mencapai kinerja yang diharapkan. Untuk itu penilaian kuantitatif dan kualitatif standar kinerja untuk setiap tugas dan jabatan personel memegang peranan yang penting. Akhir dari proses kinerja adalah penilaian kinerja itu sendiri yang dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan.
Dimensi-dimensi yang dijadikan ukuran kinerja, menurut Nawawi (2000:97) adalah :
1. Tingkat kemampuan kerja (kompetensi) dalam melaksanakan pekerjaan baik yang diperoleh dari hasil pendidikan dan pelatihan maupun yang bersumber dari pengalaman kerja
2. Tingkat kemampuan eksekutif dalam memberikan motivasi kerja, agar pekerja sebagai individu bekerja dengan usaha maksimum, yang memungkinkan tercapainya hasil sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.

2.1.4.2 Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja merupakan suatu proses menilai hasil karya personel dengan menggunakan instrumen penilaian kinerja dengan membandingkanya dengan standar baku. Melalui penilaian itu kita dapat mengetahui apakah pekerjaan itu sudah sesuai atau belum dengan uraian pekerjaan yang telah disusun sebelumnya.
1 Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja mencakup faktor-faktor :
a. Pengamatan, yang merupakan proses menilai dan menilik perilaku yang ditentukan oleh sistem pekerjaan.
b. Ukuran, yang dipakai untuk mengukur prestasi kerja seorang personel dibandingkan dengan uraian pekerjaan yang telah ditetapkan untuk personel tersebut.
c. Pengembangan, yang bertujuan untuk memotivasi personel mengatasi kekurangannya dan mendorong yang bersangkutan untuk mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada pada dirinya.
2. Tujuan Penilaian Kinerja
Tujuan Penilaian kinerja secara umum:
a. Menilai kemampuan personel
Penilaian ini merupakan tujuan yang mendasar dalam menilai personel secara individu, yang dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai efektivitas manajemen sumber daya manusia.
b. Pengembangan personel
Sebagai informasi untuk pengambilan keputusan untuk pengembangan personel seperti: promosi, mutasi, rotasi, terminasi dan penyesuaian kompensasi.
Ø Secara spesifik penilaian kinerja bertujuan untuk:
· Mengenali SDM yang perlu dilakukan pembinan
· Menentukan kriteria tingkat pemberian kompensasi
· Memperbaiki kualitas pelaksanaan pekerjaan
· Memperoleh umpan balik atas hasil prestasi karyawan
Ø Tujuan utama sistem penilaian kinerja adalah menghasilkan informasi yang akurat dan valid sehubungan dengan perilaku dan kinerja karyawan. Semakin akurat dan valid informasi yang dihasilkan oleh sistem penilaian kinerja, semakin besar potensi nilainya bagi organisasi.
Ø Tujuan penilaian kinerja secara khusus:
Walaupun semua organisasi masing-masing mempunyai tujuan yang mendasar mengenai sistem penilaian kinerja, informasi yang dihasilkan oleh sistem tersebut dapat digunakan secara khusus bagi organisasi. Tujuan khusus tersebut dapat digolongkan menjadi dua bagian besar yaitu: evaluasi dan pengembangan.
3. Aspek Evaluasi Penilaian Kinerja
Untuk melakukan evaluasi maka manajer akan menilai kinerja massa lalu seorang karyawan. Evaluator menggunakan informasi untuk menilai kinerja dan kemudian menggunakan data tersebut dalam keputusan-keputusan promosi, demosi, terminasi dan kompentensi. Teknik evaluatif membandingkan semua pegawai satu dengan yang lain atau terhadap beberapa standar sehingga keputusan-keputusan dapat dibuat berdasarkan catatan-catatan kinerja mereka. Keputusan-keputusan yang paling sering dilaksanakan berdasarkan tujuan evaluatif adalah keputusan-keputusan kompensasi yang mencakup peningkatan balas jasa, bonus pegawai, dan kenaikan-kenaikan lainya dalam gaji. Tujuan evalutif kedua dari penilaian kinerja adalah membuat keputusan-keputusan penyusunan pegawai (staffing). Penilaian kinerja masa lalu merupakan factor kunci dalam menentukan pegawai yang diinginkan lainya. Penilaian kinerja dapat dipakai untuk mengevaluasi sistem perekrutan, seleksi dan penempatan.
4. Aspek Pengembangan Penilaian Kinerja
Informasi yang dihasilkan dari sistem penilaian kinerja dapat juga dipakai untuk lebih memudahkan pengembangan pribadi/karir pegawai. Dalam pendekatan pengembangan, manajer mencoba meningkatkan kinerja seseorang pegawai di massa yang akan datang. Aspek pengembangan dari penilaian kinerja mendorong pertumbuhan pegawai dalam hal keahlian, pengalaman atau pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk melaksanakan pekerjaan saat ini secara lebih baik. Keahlian-keahlian atau pengetahuan yang harus dicapai seseorang untuk melaksanakan pekerjaan di massa mendatang, dan tipe-tipe tanggung jawab yang harus diberikan seseorang guna mempersiapkannya terhadap penugasan-penugasan di massa mendatang.
Penilaian kinerja yang bertujuan pengembangan juga mencakup pemberian pedoman kepada pegawai untuk kinerjanya di massa depan. Umpan balik ini mengenali kekuatan dan kelemahan dalam kinerja massa lalu dan menentukan arah yang harus diambil pegawai untuk memperbaikinya. Pegawai ingin mengetahui secara khusus bagaimana mereka dapat meningkat di massa depan. Karena penilaian kinerja dirancang untuk menanggulangi masalah-masalah kinerja yang buruk, penilaian haruslah dirancang untuk mengembangkan pegawai dengan lebih baik.
5. Konsep Dasar Penilaian Kinerja
a. Memenuhi manfaat penilaian dan pengembangan
b. Mengukur/menilai berdasarkan perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan
c. Merupakan dokumen legal
d. Merupakan proses formal dan nonformal
6. Cara-cara Melakukan Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara yaitu:
a. Penilaian teknik essai
b. Penilaian komparasi
c. Penilaian daftar periksa
d. Penilaian langsung ke lapangan
e. Penilaian berdasarkan perilaku
f. Penilaian berdasarkan insiden kritikal
g. Penilaian berdasarkan keefektifan
h. Penilaian berdasarkan peringkat
7. Karakteristik
Sifat khas dari suatu pengukuran kinerja adalah:
a. Pengukuran kinerja nonfinansial harus dimasukan dalam suatu sistem karena banyak tujuan organisasi yang tidak mendasarkan pada biaya. Yang termasuk disini adalah: waktu, ketersedian alat, ketepatan jadwal, dan presentase produk yang tidak salah.
b. Pengukuran kinerja harus saling menunjang bukan menimbulkan masalah
c. Pengukuran kinerja harus dapat memotivasi pegawai untuk membantu organisasi mencapai tujuan jangka panjangnya seperti juga jangka pendek.
Pengukuran kinerja harus dapat dipakai di semua bagian. Interval waktu antar persiapan dan keluarnya produk merupakan suatu pengukuran yang meliputi beberapa daerah.
Informasi yang dihasilkan oleh sistem penilaian dapat digunakan untuk memudahkan pengembangan pribadi pegawai. Sistem penilaian yang sehat dapat menghasilkan informasi yang valid tentang pegawai. Jika informasi ini diumpan-balikan kepada pegawai secara jelas dan dengan cara yang tidak mengancam, maka informasi itu dapat memenuhi dua tujuan:
1) Bila informasi mengindikasikan bahwa pegawai sudah bekerja secara efektif, proses-proses umpan balik itu sendiri dapat menguntungkan pegawai karena dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kompetensinya.
2) Bila informasi menemukan adanya kelemahan, maka umpan balik dapat menstimulasi proses pengembangan untuk mengatasi proses kelemahan yang ada.
Untuk manajemen sumber daya manusia, proses penilaian kinerja dapat menunjukan adanya kebutuhan akan adanya pengembangan tambahan sebagai suatu alat untuk meningkatkan kinerja. Dengan adanya hasil penilaian kinerja yang mengindikasikan bahwa seorang pegawai mempunyai potensi untuk bekerja dengan baik di suatu posisi yang dipromosikan, maka pegawai tersebut mempunyai kesempatan untuk menduduki suatu posisi yang lebih tinggi.
Penilaian kinerja yang bertujuan pengembangan juga mencakup pemberian pedoman kinerja pegawai di kemudian hari. Umpan balik akan menyadarkan pegawai tentang kelemahan dan kekuatan kinerja massa lalu dan menentukan arah yang harus dipilih pegawai untuk memperbaikinya. Pegawai ingin mengetahui secara khusus, bagaimana mereka dapat meningkatkan keterampilan mereka di massa mendatang. Karena penilaian kinerja dirancang untuk menanggulangi masalah-masalah kinerja yang buruk, penilaian harus dirancang untuk mengembangkan pegawai dengan lebih baik.

KOMPENSASI

Dalam hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan hidup para pegawai, suatu organisasi harus secara efektif memberikan kompensasi sesuai dengan beban kerja yang diterima pegawai. Kompensasi merupakan salah satu faktor baik secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja pegawai/ dosen. Karena itu semestinya pemberian kompensasi kepada pegawai perlu mendapat perhatian khusus dari fihak manajemen instansi agar motivasi para pegawai/ dosen dapat dipertahankan dan kinerja pegawai/ dosen diharapkan akan terus meningkat. Berkaitan dengan hal tersebut perlu diadakan penelitian mengenai variabel yang berpengaruh terhadap kompensasi dan kinerja pegawai.
Salah satu fenomena yang muncul dewasa ini adalah adanya kebijakan pemberian kompensasi yang cenderung masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan pegawai/ dosen sedangkan kompensasi itu sendiri adalah merupakan salah satu faktor untuk mendorong pegawai/ dosen agar memiliki kinerja yang tinggi.
Cascio (1993 ; 225) menyatakan bahwa kompensasi itu terbagi menjadi dua, terdapat kompensasi langsung maupun kompensasi tidak langsung. Kompensasi langsung terdiri dari gaji, uang transport, tunjangan hari raya, uang lembur, dan tunjangan langsung lainnya. Sedangkan kompensasi tidak langsung terdiri dari promosi jabatan, asuransi, tunjangan jabatan, dan mutasi.
Kompensasi merupakan salah satu faktor baik secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tinggi rendahnya motivasi dan kinerja pegawai/ dosen. Karena itu semestinya pemberian kompensasi kepada pegawai/ dosen perlu mendapat perhatian khusus dari fihak manajemen instansi agar motivasi para pegawai/ dosen dapat dipertahankan dan kinerja dosen diharapkan akan terus meningkat. Berkaitan dengan hal tersebut perlu diadakan penelitian mengenai variabel yang berpengaruh terhadap kinerja pegawai/ dosen.
Salah satu fenomena yang muncul dewasa ini adalah adanya kebijakan pemberian kompensasi yang cenderung masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan pegawai sedangkan kompensasi itu sendiri adalah merupakan salah satu faktor untuk mendorong pegawai/ dosen agar memiliki kinerja yang tinggi.
Kompensasi merupakan salah satu fungsi yang penting dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), hal ini sesuai dengan pendapat Luthans (1992:147), yang mengatakan:
“Incentives, at the end of the motivation cycle is the incentives defined as anything that will alleviate a need and reduce a drive, thus attaining an incective will tend to restore physiological and psychological balaance and will reduce or cut off the drive. Eating food, drinking water, and obtainig friends willtend to resotore the balance and reduce the corresponding drivers, food, water, and friens are the incentives in these exemples”

yang berarti: “kompensasi, pada akhir daur motivasi didefinisikan sebagai segala sesuatu yang akan meringankan kebutuhan dan mengurangi gerakan, dengan demikian pencapaian kompensasi akan menuju kepada perbaikan keseimbangan fisiologis dan psikologis dan akan mengurangi atau menghilangkan gerakan. Memakan makanan, meminum air, dan memperoleh teman akan menuju kepada perbaikan keseimbangan dan mengurangi penyesuaian gerakan, makan, air, dan teman adalah kompensasi dari contoh-contoh diatas”
Kompensasi menurut Jones: bases pay on production ( i.e., printers delwered or revenue targets achieved) healt insurance and social security :
- Pokok yang harus dibayarkan pada suatu produksi para pegawai atau untuk target pendapatan.
- Pemasukan untuk Federal dan negara seperti asuransi kesehatan dan keamanan sosial.
Tidak semua pegawai berkehendak untuk dipisahkan dalam waktu yang panjang dari keluarga, teman-temannya dan sistem yang menunjang kesenangan di rumah. Begitu pula, dorongan bergerak untuk kewajiban-kewajiban asing yang teratur dikurangi hal-hal ini meliputi pula pembayaran pelayanan, terhadap perumahan, mobil, supir dan perangsang lainnya.
Davis dan Newston (1994:135-134) mengemukakan bahwa kompensasi mengingatkan antara prestasi individu, kelompok atau organisasi yaitu dapat meliputi: upah potongan, komisi, bonus, bagi laba dan bagi produksi. Sedangkan Siagian (1999:265) mengemukakan bahwa sistem kompensasi digolongkan kedalam: (1) Sistem kompensasi pada tingkat individu (Peacework, bonus, komisi, kurva kematangan, dan kompensasi bagi para eksekutif), (2) Sistem kompensasi pada kelompok (kompensasi produksi, bagian keuntungan, dan pengurangan biaya). Selanjutnya Robin (1996:246) mengemukakan kompensasi yang mengandung pengertian yang sama dengan upah variabel yaitu suatu bagian dari upah seseorang karyawan yang didasarkan pada suatu ukuran kinerja individual atau organisasi. Upah variabel tersebut terdiri dari upah berdasarkan potongan, bonus, berbagai laba dan berbagai hasil.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem kompensasi adalah kompensasi yang diberikan kepada pegawai atas dasar prestasi kerjanya. Sistem kompensasi tersebut meliputi: (1) Upah potongan (piecework), (2) Komisi, (3) Bonus, (4) Bagian laba, (5) Bagi produksi.
1. Upah potongan (pacework), yaitu pemberian kompensasi berdasarkan jumlah hasil pekerjaan pegawai yang dinyatakan dalam unit produksi. Dasar penghitungan ialah bahwa makin banyak unit produksi yang dihasilkan, makin tinggi pula kompensasi yang diterimanya. Sistem ini tidak dapat diterapkan pada pegawai bagian administrasi, atau pada pekerjaan yang telah ditentukan.
2. Komisi yaitu imbalan yang diberikan kepada pegawai disamping memperoleh gaji pokok, juga diberikan kompensasi karena keberhasilannya melaksanakan tugas, atau pegawai yang memperoleh penghasilannya semata-mata berupa komisi.
3. Bonus, yaitu imbalan yang diberikan kepada pegawai yang mampu bekerja sedemikian rupa sehingga tingkat produktivitas yang berlaku terlampui. Bonus dibayar secara eksklusif kepada para eksekutif atau kepada semua pegawai. Ada tiga cara pemberian bonus yaitu: Pertama, berdasarkan jumlah unit produksi yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, jika jumlah produksinya melebihi jumlah yang telah ditetapkan, pegawai menerima bonus atas kelebihan jumlah yang dihasilkan. Kedua, apabila terjadi penghematan waktu, yaitu jika pegawai dapat menyelesaikan tugas dalam waktu yang lebih singkat dari waktu yang seharusnya, dengan alasan bahwa dengan menghemat waktu, lebih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan ketiga, berdasarkan perhitungan progresif, yaitu jika pegawai makin lama makin mampu memproduksikan barang dalam jumlah yang semakin besar, makin besar pula bonus yang diterimanya untuk setiap kelebihan produksi yang dihasilkannya.
4. Kurva kematangan (maturity curve), yaitu bagi organisasi yang mengerjakan tenaga teknikal dan profesional ilmiah. Apabila ada tenaga kerja profesional yang karena masa kerja dan golongan pangkat serta gaji tidak bisa mencapai pangkat dan penghasilan yang lebih tinggi lagi, dibuat suatu kurva prestasi kerja. Jika kurva tersebut menunjukan bahwa prestasi kerja mereka lebih besar dari prestasi kerja normal diberikan kompensasi tertentu. Dengan demikian meskipun golongan pangkat dan gaji yang sudah maksimal, penghasilan riilnya masih dapat ditingkatkan.
5. Bagi laba atau keuntungan, yaitu kompensasi yang diberikan berdasarkan sesuatu rumus yang telah ditetapkan yang dirancang berdasarkan profitabilitas atau keuntungan suatu perusahaan atau organisaasi.
6. Bagi produksi, yaitu kompensasi yang diberikan kepada produktivitas kelompok, jika produktivitas kelompok mampu melampaui target produksi normal maka diberikan bonus.
Dalam menyusun sistem kompensasi, ada lima faktor yang harus dipertimbangkan sebagaimana dikemukakan Siagian (1999: 265-267) yaitu sebagai berikut :
1. Tingkat upah dan gaji yang berlaku diberbagai organisasi yang ada dalam satu wilayah tertentu. Walaupun demikian juga harus dipertimbangkan langka tidaknya tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tertentu yang dibutuhkan oleh organisasi.
2. Tuntutan serikat kerja, yaitu sangat memungkinkan serikat pekerja berperan dalam mengajukan tuntutan tingkat gaji/ upah yang lebih tinggi dari tingkat yang berlaku disebabkan oleh berbagai faktor kebutuhan pekerja untuk meningkatkan tarap hidup dan kesejahteraan anggotanya. Peranan dan tuntutan serikat kerja perlu diperhitungkan, karena apabila tidak, para pekerja memungkinkan akan melancarkan berbagai kegiatan yang dapat merugikan organisasi dan pegawai itu sendiri.
3. Produktivitas, yaitu apabila para pegawai merasa tidak memperoleh kompensasi yang wajar, sangat mungkin pegawai tidak akan bekerja keras, sehingga produktivitasnya rendah dan dapat menimbulkan kerugian bagi organisasi.
4. Kebijakan organisasi mengenai upah dan gaji, yaitu yang tercermin pada jumlah uang yang dibawa pulang oleh pegawai tersebut. Berarti bukan hanya gaji pokok yang penting, akan tetapi berbagai komponen lain dari kebijakan organisasi, seperti tunjangan jabatan, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan transportasi, bantuan pengobatan, bonus, tunjangan kemahalan dan sebagainya.
5. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu daerah atau negara, misalnya tingkat upah minimum, upah lembur, mempekerjakan wanita, mempekerjakan anak dibawah umur, keselamatan kerja, hak cuti, jumlah jam kerja dalam seminggu, hak berserikat dan sebagainya.
Semua sistem kompensasi yang baik tidak bisa dilihat dari satu sudut kepentingan organisasi sebagai pemakai tenaga kerja saja atau kepentingan pegawai saja, tetapi kepentingan dari berbagai pihak yang turut terlibat baik langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan sistem kompensasi merupakan salah satu alat untuk memotivasi para karyawan untuk mewujudkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan itu. Kompensasi umumnya diberikan sebagai imbalan atas perilaku kerja individual, tetapi dapat pula diberikan kepada kelompok. Sistem kompensasi menghubungkan antara kompensasi dan unjuk kerja bukan senioritas ataupun jumlah jam kerja.
Menurut Robbin (1997) menyatakan bahwa program kompensasi yang efektif harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sederhana : aturan-aturan dalam sistem kompensasi harus ringkas, jelas dan mudah difahami.
2. Spesifik : jangan hanya mengatakan “hasil lebih banyak” atau “hentikan kecelakaan”. Para pegawai perlu mengetahui secara tepat tentang apa yang harus mereka kerjakan.
3. Terjangkau : setiap pegawai harus mempunyai peluang yang wajar untuk memperoleh kompensasi.
4. Terukur : sasaran-sasaran yang terukur adalah dasar untuk membangun rencana-rencana atau program kompensasi. Program kompensasi akan menjadi tidak ada manfaatnya bila hasil/prestasi kerja spesifik tidak dapat dikaitkan dengan rupiah yang dikeluarkan.

KOMPETENSI

2.1.2.1 Pengertian dan Karakteristik Kompetensi
Menurut Mitrani, Palziel and Fitt (1992:112), competency concept is not a new one. Organisasi industri psikologi Amerika, pergerakan tentang kompetensi telah dimulai pada tahun 1960 dan awal 1970. Menurut gerakan tersebut, banyak hasil studi yang menunjukan bahwa hasil test sikap dan pengetahuan, prestasi belajar di sekolah dan diploma tidak dapat memprediksikan kinerja atau keberhasilan dalam kehidupan.unsur-unsur tersebut sering menimbulkan bias terhadap minoritas, wanita, dan orang yang berasal dari strata sosioekonomi yang rendah. Temuan tersebut telah mendorong dilakukan penelitian terhadap variabel kompetensi yang diduga meprediksikan individu dan tidak bias karena faktor rasial, jender dan sosio ekonomi. Oleh sebab itu beberapa prinsip yang perlu diperhatikan adalah :
1. Membandingkan individu yang secara jelas berhasil didalam pekerjaanya dengan individu yang tidak berhasil
2. Mengidentifikasikan pola fikir dan perilaku individu yang berhasil.
Semua jenis kompetensi yang bersifat non-akademik seperti kemampuan menghasilkan ide-ide yang inovatif, management skill, kecepatan mempelajari jaringan kerja. Berhasil memprediksi kinerja individu dalam pekerjaannya. Menurut Clark (1997a:297), Competensy is a knowladge or know how for doing a effective job.
Sementara itu menurut Davis (1999:299) : Competency is a capability perspective and people knowledge, especialy to impact on ability for need in a business via minimize cost and optimalization services to customer more for less.
Menurut Mitrani, Palziel and fitt, (1992), Spencer & Spencer, (1993), competency define as people based characteristic and implication on job effetiveness. Kompetensi dapat dibagi atas dua (2) kategori yaitu “threshold” dan “differentiating” menurut kinerja yang digunakan memprediksikan kinerja suatu pekerjaan. (Spencer and Spencer, 1993) yaitu :
1. Threshold competencies adalah karakteristik utama (biasanya pengetahuan atau keahlian dasar seperti kemampuan untuk membaca) yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya.
2. Differentiting competencies adalah faktor-faktor yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah.
Terkait dengan peran strategis sumber daya manusia, kompetensi dilakukan dengan pemahaman organisasi tentang peran sumber daya manusia yang semula people issues menjadi people related business issues.
Menurut Schuller, Walker (1990) people issues didefinisikan sebagai isu bisnis yang hanya dikaitkan dengan orang bisnis saja, (business competence is only business people), sebagai impilikasi kompetensi karyawan atau eksekutif sumber daya manusia cenderung kurang diakui, maka pemahaman tersebut berubah menjadi people relatede business issues (business competence is for every business people in the organization included human resources management people or executives). People related business issues disefinisikan sebagai persoalan bisnis yang selalu dikaitkan dengan peran serta aktif sumber daya manusia. Isu ini berkembanga oleh karena adanya tendensi seperti : people, service and profit, 100% customer service, challenge and opportunities, now lay off, guaranted for treatment, survey or feed back or action, promote for work, profitsharing and open door policy.
Tendensi-tendensi ini memiliki implikasi yang menuntut konstribusi aktif semua pihak, yang ada dalam organisasi, terutama karyawan sumber daya manusia. Peran sumber daya manusia akan semakin dihargai terutama dalam hal kompetensi sumber daya manusia, untuk pengelolaan bisnis. Pengahargaan terhadap kompetensi sumber daya manusia diperlukan karena akan mempengaruhi keefektifitasan kegiatan bisnis, the reward of human resources competency will impact on business activity effectiveness (Schuller dan Jackson, 1996). Sumber daya manusia yang dihargai akan bekerja dengan sepenuh hati untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi.
Hart (1999:368) menemukan 15 unsur dalam kompetensi para pegawai, yaitu:
1. The performance orientation (Orientasi pencapaian prestasi)
2. The analitical thinking (Pemikiran analitis)
3. To have ability in a uncertainty condition (Memiliki kemampuan dalam berhadapan dengan kondisi serba tidak pasti)
4. Decision Making (Pengambilan keputusan)
5. Leadership (Kepemimpinan)
6. Networking (Kerja jejaring)
7. Verbal Communication (Komunikasi lisan)
8. Self Stimuli and Inisiative (Dorongan pribadi dan inisiatif)
9. Kemampuan untuk membujuk
10. Perencanaan dan pengorganisasian
11. Kepedulian terhadap hal-hal yang bersifat politik
12. Kesadaran terhadap diri sendiri dan pengembangan diri
13. Kerja kelompok
14. Tingkatan pengetahuan dn keterampilan yang dimiliki
15. Komunikasi tertulis
Penelitian yang dilakukan oleh Gronroos dkk pada tahun 1990 dalam (Johnson, 1995:55a) menunjukan bahwa setidaknya terdapat 6 kriteria yang dipergunakan untuk mengukur tingkatan kualitas atas suatu pelayanan, masing-masing yaitu :
1. Profesionalisme dan keterampilan pegawai
2. Sikap dan perilaku
3. Aksesabilitas dan kelenturan
4. Kehandalan dan kepercayaan
5. Pemulihan atau recovery
6. Reputasi dan kredibilitas
Sementara itu, dari penelitian Mac Lean (1996:24) berhasil menemukan 4 dimensi kompetensi pribadi yang menjadi prasyarat bagi keberhasilan suatu entitas bisnis, yaitu :
1. Perencanaan secara optimal menyangkut kebutuhan untuk berprestasi dan penyusunan skala prioritas.
2. Melakukan pengelolaan tim kerja
3. Melakukan pengelolaan diri sendiri
4. Menggunakan kemampuan intelektual yang ada untuk melakukan pengambilan keputusan.
Berbagai pendapat para ahli yang melakukan penelitian sebelumnya, maka dalam penelitian ini kompetensi pegawai akan di ukur dengan mendasarkan kepada beberapa karakteristik, sebagaimana yang terlihat pada tabel 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1 Karakteristik Kompetensi Pegawai Menurut Para Ahli
No
Karakteristik Kompetensi Pegawai
Menurut
1
Kompleksitas keterampilan manajerial sekaligus profesional dengan tingkat tanggung jawab yang tinggi dari para pejabat pelaksananya
Bergenhenegouwen
(1997:58)
2
Berupaya untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi pekerjaan
Denton
(1997:7)
3
Keterampilan, pendapat/ kemampuan mengkritisi permasalahan, sikap dan nilai yang dianut, pengetahuan, kemampuan dan kapasitas
Gale dan Pol dalam Birdir (2000:205)

4
Memiliki pola-pola pengambilan keputusan, baik dalam kontek perencanaan, operasional maupun yang bersifat taktikal
Gilmore
(1996:43)
5
Berorientasi pada pencapaian prestasi
Hart
(1999:368)
6
Pengetahuan profesional, orientasi kepada pelanggan, kepedulian kepada bisnis, kepemimpinan, dn perencanaan serta pengorganisasian
Houtzagers
(1999:29)
7
Kedalaman pengetahuan atas keterampilan tertentu
Hronec
(1993:33)
Sambungan Tabel 2.1
8
Keterampilan teknis, keterampilan manajerial, serta perilaku
Jackson
(1994:26)
9
Keahlian dan profesionalisme yang dipergunakan dalam menjalankan suatu kegiatan pelayanan jasa
Johnson
(1995a:70)
10
Mampu menempati dengan baik, bersifat spesifik, tulus hati, memiliki kemampuan untuk berkreasi, memiliki keterampilan mendengar dan menyimak secara efektif
Nelson
(1998:76)

11
Mampu bekerja secara efektif, memiliki motif, bakat, keterampilan pada berbagai aspek, citra diri, peran sosial dan ilmu pengetahuan tertentu
Robotham
(1996:27)
Sumber : Riyanto (2002)

Menurut Mathis & Jackson (2001), competency is a base characteristic that correlation of individual and team performance acheivement. Kompetensi adalah karakteristik dasar yang dapat dihubungkan dengan peningkatan kinerja individu atau tim. Pengelompokan kompetensi terdiri dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan kemampuan (abilities). Model konseptual akan kompetensi dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini :
PENGETAHUAN
KETERAMPILAN
KEMAMPUAN
Skala : Terlihat
Tersembunyi
Gambar 2.1 : Model Konseptual Akan Kompetensi
Sumber : Mathis & Jackson (2001)






Kompetensi terlihat dan tersembunyi, mengilustrasikan bahwa ada kompetensi yang terlihat dan tersembunyi. Pengetahuan, lebih terlihat, dapat dikenali oleh banyak organisasi dalam mencocokan orang terhadap pekerjaan. Keterampilan, walaupun sebagian dapat terlihat seperti keterampilan dalam membuat lembar pekerjaan keuangan, sebagian lain seperti keterampilan negoisasi dapat kurang teridentifikasi. Akan tetapi kompetensi tersembunyi berupa kecakapan, yang mungkin lebih berharga, yang dapat meningkatkan kinerja. Sebagai contoh, kompetensi untuk membuat konsep hubungan strategis dan untuk mengatasi konflik interpersonal, lebih sulit diidentifikasi dan dinilai.
Kompetensi yang ditetapkan di organisasi merupakan basis dari berbagai aspek pengembangan sumber daya yang dimiliki, yang dikondisikan sebagai upaya pendukung dalam pencapaian kinerja organsiasi, dengan keunggulan kinerja merupakan modal penting untk mengantar organisaasi mencapai tingkat keunggulan bersaing yang optimal dan efisien.

2.1.2.2 Metodologi Analisis Kompetensi
Tidak seperti pendekatan tradisional untuk menganalisas pekerjaan, yang mengidentifikasikan tugas, pengetahuan, keterampilan yang berhubungan dengan suatu pekerjan, pendekatan kompetensi mempertimbangakan bagaimana pengetahuan dan keterampilan tersebut digunakan. Pendekatan kompetensi juga mencoba mengidentifikasikan faktor tersembunyi yang sering kali sangat penting untuk kinerja superior. Pendekatan kompetensi menggunakan beberapa metodologi untuk membantu supervisor mengidentifikasikan contooh-contoh dari apa yang mereka maksudkan dengan sikap dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi efektivitas kerja.
Menurut Mathis & Jackson beberapa metodologi tersedia dan digunakan untuk menentukan kompetensi, pada umumnya dengan “behavioral event interviews” yaitu terdiri dari proses sebagai berikut :
1. Suatu sistem senior manajer mengidentifikasikan bidang-bidang hasil kinerja masa depan yang penting untuk rencana strategis dan bisnis dari organisasi. konsep ini dapat lebih luas dari pada yang digunakan dimasa lampau.
2. Grup panel dibentuk, terdiri dari orang-orang yang berpengatahuan tentang pekerjaan-pekerjaan di organisasi tersebut. Grup ini dapat beranggotakan baik pegawai yang berkinerja rendah maupun tinggi, supervisor, manajer, trainer, dan lainnya.
3. Seorang fasilitator dari sumber daya manusia atau seorang konsultan luar mewawancarai anggota panel tersebut untuk mendapatkan contoh-contoh spesifik dari kelakuan pekerjaan dan kehadiran sebenarnya dalam pekerjaan. Selama wawancara orang-orang tersebut juga ditanyai tentang pikiran dan perasaannya selama setiap kejadian yang digambarkan.
4. Menggunakan kejadian-kejadian tersebut, sang fasilitator membuat uraian rinci dari setiap kompetensi. Fase deskriptif ini harus jelas dan spesifik, sehingga pegawai, supervisor, manajer dan lainnya dalam organsiasi mempunyai pengertian yang lebih jelas mengenai kompetensi yang berhubungan dengan pekerjaan.
5. Kompetensi-kompetensi tersebut diurutkan dan level yang dibutuhkan untuk mencapainya diidentifikasikan. Kemudian kompetensi dirincikan untuk setiap pekerjaan.
6. Akhirnya standar kinerja diidentifikasikan dan dihubungkan dengan pekerjaan. Proses seleksi, pelatihan, pendidikan dan kompetensi yang sesuai terfokus pada kompetensi ahrus dibuat dan diimplementasikan. Menurut Mathis & Jackson, kompetensi yang digunakan dalam organisasi bervariasi sekali.

2.1.2.3 Penerapan Kompetensi Berdasarkan Fungsi Sumber Daya Manusia
Setiap oragansisi memiliki kompetensi yang berbeda, karena belum adanya peryaratan standar untuk menempati suatu posisi, serta penetuan pelatihan bagi sumber daya manusia belum sistematis maka aplikasi kompetensi diprioritaskan berdasarkan fungsi sumber daya manusia di organisasi.
Menurut Mitrani, Dalziel, Fitt (1992); Spencer & Spencer (1993), dari pemikiran para ahli dapat diidentifikasikan beberapa pokok pikiran tentang kualitas yang perlu dimiliki orang pada eksekutif (executives), manajer (managers), dan karyawan (employees) dalam penelitian ini yang dibahas adalah mengenai kompetensi tingkat personil (dosen).
Kompetensi karyawan/ dosen diperlukan untuk mengidentifikasi pekerjaan yang sesuai dengan prestasi yang diharapkan. Kompetensi tingkat karyawan/ dosen meliputi :
1. Flexibility
Yaitu kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang menggembirakan ketimbang sebagai ancaman.


2. Information seeking, motivation, and ability to learn
Yaitu kemampuan mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan interpersonal.
3. Achievment motivation
Yaitu kemampuan berinovasi sebagai peningkatan kualitas, produktivitas.
4. Work motivation under time pressure
Yaitu kemampuan menahan stres dalam organisasi, dan komitmen dalam menyelesaikan pekerjan.
5. Collaborativeness
Yaitu kemampuan pegawai untuk bekerja secara kooperatif di dalam kelompok.
6. Customer service orientation
Yaitu kemampuan melayani konsumen, mengambil inisiatif dalam mengatasi masalah yang dihadapi konsumen.

PENDIDIKAN DAN LATIHAN

Secara umum tujuan suatu program pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan diarahkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan serta untuk menjembatani kesenjangan antara pengetahuan, keterampilan serta sikap pegawai yang ada dan diharapkan baik pula pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang disesuaikan dengan kebutuhan individu maupun kebutuhan perusahaan.
Menurut Handoko (1995, 103) terdapat 2 (dua) tujuan utama dari program pelatihan, yaitu :
“Pertama, latihan dan pengembangan dilakukan untuk menutup “gap” antara kecakapan atau kemampuan pegawai dengan permintaan jabatan. Kedua, program-program tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja pegawai dalam mencapai sasaran kerja yang telah ditetapkan.”
Tujuan pendidikan dan pelatihan merupakan tolok ukur dari berhasil tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan perusahaan. Tujuan pendidikan dan pelatihan dapat digunakan sebagai dasar dan pedoman untuk melakukan penyusunan program pendidikan, dalam pelaksanaan dan dalam pengawasannya serta evaluasi keberhasilan. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan dari pendidikan dan pelatihan itu untuk dapat memenuhi kepentingan bagi organisasi maupun individu.
2.2.2 Proses Sistem Pendidikan dan Pelatihan
Dalam merancang dan mengembangkan program pendidikan dan pelatihan yang efektif, terdapat beberapa tahap. Beberapa ahli mengemukakan tahapan tersebut, salah satunya adalah Dessler (1997, 250), yaitu : “We can conveniently think of a typical training or development program as consisting of five steps : (1) Needs analysis, (2) Instructional design, (3) Validation, (4) Implementation, (5) Evaluation and Follow-up.”
Menurut pendapat Milkovich and Boudreau (1991, 408) bahwa bentuk pelatihan dalam organisasi ada 3 (tiga) tahap, yaitu : “Needs Assessment, Training and Development, Evaluation.” Sedangkan Bernardin dan Russell (1993, 299) mengemukakan pendapat yang senada, yaitu : “Needs Assessment, Development, and Evaluation,” Untuk lebih jelasnya mengenai langkah-langkah dalam tahap pendidikan dan pelatihan tersebut maka akan diuraikan sebagai berikut :


a. Penilaian Kebutuhan (Need Assessment)
Tujuan penentuan kebutuhan pelatihan ini adalah untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan guna mengetahui dan/atau menentukan apakah perlu tidaknya pelatihan dalam organisasi tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Bernardin dan Russell (1993, 298) bahwa :
“A needs assessment is a systematic, objective determination of training needs, which involves conducting threee primary types of analysis. The three analysis consist of an organizational analysis, a job analysis and a person analysis.”
Pengertian bahwa penilaian kebutuhan adalah suatu sistematika, penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperoleh dari tiga jenis analisis. Ketiga analisis ini diperlukan dalam menentukan sasaran program pendidikan dan pelatihan. Ketiga analisis tersebut adalah analisis organisasi, analisis pekerjaan, dan analisis individu.
b. Analisis Organisasi
Sebelum suatu program pendidikan dan pelatihan dilaksanakan oleh perusahaan, perlu dilakukan suatu analisis yang jelas tentang pendidikan dan pelatihan untuk kebutuhan perusahaan. Setelah melihat adanya kebutuhan perusahaan perlu dibuat program yang sesuai dan benar-benar mencapai sasaran kebutuhan perusahaan.
Milkovich dan Boudreau (1991, 409) mengemukakan : “We can categorize organizational. Level needs as organization maintenance, effciency, and culture.”
Pengertian yaitu analisis organisasi mencakup tiga hal, yaitu : analisis atas pemeliharaan organisasi, efisiensi, dan budaya organisasi.
Organizational maintenance (pemeliharaan organisasi) bertujuan untuk menjamin kestabilan/kelancaran di dalam tersedianya keterampilan pegawai yang tidak memadai. Kurangnya pengetahuan pegawai apabila akan dialih tugaskan akan menimbulkan adanya kebutuhan akan pendidikan dan pelatihan.
Organization efficiency (efisiensi organisasi) menggambarkan model diagnosa yang objektif. Seperti keuntungan, biaya tenaga kerja, kualitas kinerja dan dengan adanya kesenjangan yang ada maka dapat diatasi melalui program pendidikan dan pelatihan. Dalam kenyataannya salah satu alasan yang penting diadakan pendidikan dan pelatihan dalam perusahaan yaitu dalam hal kemampuan memutuskan atau memecahkan masalah, bekerja dalam kelompok dan perilaku yang dapat meningkatkan mutu/ keterampilan tenaga kerja.
Organizational culture (budaya organisasi), merefleksikan sistem nilai atau filosofi organisasi. Dilakukan dengan melihat budaya kerja yang mendukung tercapainya tujuan organisasi. Menurut Dessler (1997, 247) mengemukakan : “Budaya organisasi dapat diartikan sebagai sikap dan persepsi yang dimiliki pegawai pada umumnya dalam suatu perusahaan tempat mereka bekerja.”
Dengan perkataan lain, para pegawai menangkap isyarat tentang perusahaan mereka dan dari syarat-syarat ini mereka membentuk suatu gambaran yang padu tentang jenis organisasi tempat mereka bekerja.
Menurut Dessler (1997, 251) analisis kebutuhan pelatihan itu adalah :
“The purpose of the needs analysis step is to :
· Identify Specific job performance skill needed to improve performance and productivity.
· Analyze the audience to ensure that the program will be suited to their specfic levels of education, experience, and skills, as well as their attitureds and personal motivations.
· Use research to develop specific measurable knowledge and performance objectives.”
Tujuan dari langkah analisis kebutuhan pelatihan antara lain, yaitu :
· Mengidentifasikan keterampilan kinerja jabatan khusus yang dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja dan produktivitas.
· Menganalisis peserta untuk memastikan bahwa program akan sesuai dengan tingkat pendidikan khusus mereka, pengalaman, dan keterampilan juga sikap dan motivasi pribadi mereka.
· Menggunakan penelitian untuk mengembangkan sasaran pengetahuan dan kinerja yang dapat diukur.
c. Evaluasi Pendidikan dan Pelatihan (Evaluation)
Agar program pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan efektif maka program tersebut harus merupakan suatu solusi yang tepat bagi permasalahan perusahaan, yaitu bahwa pendidikan dan pelatihan dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan. Untuk meningkatkan usaha belajar, para pegawai harus menyadari perlunya memperoleh informasi yang baru atau memperoleh ketrampilan baru dan berkeinginan untuk belajar hendaknya tetap dapat dipertahankan.
Dessler (1997, 269) mengemukakan mengenai evaluasi sebagai berikut :
“There are two basic issues to address when evaluationg a training program. The first is the design of the evaluation study and in particular, whether controlled experimentation will be used. The second is the training effect to be measured.”
Terdapat dua masalah dasar yang harus dikemukakan bila mengevaluasi sebuah program pendidikan dan pelatihan. Pertama adalah rancangan dari telaah evaluasi dan terutama apakah eksperimentasi terkendali yang akan digunakan. Kedua adalah efek latihan yang dapat diukur. Eksperimen terkendali adalah metode terbaik untuk digunakan dalam mengevaluasi sebuah program pelatihan untuk menguji efektivitas sebuah program pelatihan, yang lebih disukai adalah dengan tes sebelum dan sesudahnya.
Bernardin dan Russell (1993, 312) mengemukakan mengenai kriteria dari evaluasi, yaitu : “Reactions, learning, behaviors, organizational results.”
Uraian dari kriteria tersebut adalah :
a. Reaksi
Untuk mengetahui reaksi para peserta mengenai program pendidikan dan pelatihan. Dengan menggunakan kuesioner pada akhir pendidikan dan pelatihan para peserta ditanya tentang seberapa jauh mereka merasa puas terhadap pelatihan secara keseluruhan. Terutama didasarkan pada beberapa alasan utama, seperti untuk mengetahui sejauh mana para peserta merasakan kepuasaannya dengan program tersebut, untuk maksud diadakannya beberapa revisi atas program pendidikan dan pelatihan, untuk menjamin agar peserta lain bersikap mau menerima (reseptif).


b. Pelajaran
Informasi yang ingin diperoleh melalui jenis evaluasi ini adalah untuk mengetahui penguasaan konsep-konsep dari peserta, pengetahuan dan keterampilan yang diberikan. Ini biasanya dilakukan dengan tes tertulis, tes prestasi, dan latihan simulasi.
c. Tingkah laku
Perilaku dari para peserta, sebelum dan sesudah pelatihan dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pendidikan dan pelatihan terhadap perubahan prestasi mereka. Langkah ini penting karena sasaran dari pendidikan dan pelatihan untuk mengubah perilaku atau prestasi para peserta. Perilaku atau prestasi dari para peserta dapat diukur berdasarkan sistem evaluasi kinerja guna mendapatkan tingkat kinerja yang dikumpulkan oleh para supervisor untuk dibandingkan dengan kinerja sesudah pendidikan dan pelatihan.
d. Hasil
Tujuan dari pengumpulan informasi pada level ini untuk menguji dampak pendidikan dan pelatihan terhadap kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan. Data bisa dikumpulkan sebelum dan sesudah pendidikan dan pelatihan atas dasar kriteria produktivitas, pergantian, tingkat kehadiran, perbaikan kualitas, keluhan-keluhan, kepuasan klien, dan sejenisnya.
Ditambahkan pula oleh Milkovich dan Boudreau (1991, 315) mengenai biaya :
“Some of the costs that should be measured for a training program include needs assessment costs, salaries of training designers, purchase of equipment, program development costs, evaluation costs, trainers’ costs, facilities rental, trainee wages during training, and other traineer costs.”
Ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya biaya yang dipakai untuk program pendidikan dan pelatihan dan apakah besarnya biaya tersebut terhitung kecil atau besar dibandingkan biaya yang timbul dari permasalahan yang dialami oleh organisasi. Training program costs adalah pengeluaran – pengeluaran yang terjadi di dalam pengembangan, implementasi, dan evaluasi program.

KEPUASAN KERJA

Menurut Herzberg, faktor-faktor yang dapat meningkatkan kepuasan kerja adalah: pencapaian prestasi (achievement), pengakuan prestasi (recognition for accomplishment), pekerjaan yang menantang (challenging work), tanggung jawab yang bertambah (increased responsibility), dan pertumbuhan serta perkembangan (growth and development).[1] Masing-masing faktor tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Pencapaian prestasi (achievement) adalah suatu perasaan kepuasan atau keberhasilan dalam menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas. Karyawan dapat meningkatkan rasa pencapaian prestasinya atas pelaksanaan pekerjaan dengan: (1) mendorong karyawan menetapkan tujuan-tujuan secara profesional, (2) menetapkan tujuan-tujuan secara individual dengan mempertimbangkan kegiatan karyawan secara spesifik, (3) memantapkan tujuan-tujuan unit kerja, dan (4) secara gradual meningkatkan kompleksitas tugas sehingga karyawan ditantang dan berusaha mencapai keberhasilan di dalam situasi yang lebih sulit.[2]
Pengakuan prestasi adalah pengakuan pada usaha, prestasi, dan kontribusi dari individu atau kelompok. Berbagai cara pemimpin dapat mengenali usaha-usaha karyawan, yakni seperti: (1) mengemukakan usaha dan kontribusi karyawan di dalam pertemuan-pertemuan unit kerja, (2) merayakan keberhasilan karyawan dalam mendapatkan nasabah, (3) membiarkan karyawan mengetahui secara verbal dan atau tertulis bahwa pekerjaannya dihargai, (4) memberikan penghargaan, sertifikat atau rekomendasi lainnya untuk keberhasilan dan kontribusi tertentu, (5) membuat catatan di berkas bagian personalia tentang prestasi karyawan dan menyampaikan tembusannya ke atasan karyawan tersebut, (6) memberikan evaluasi kinerja yang positif, (7) mempromosikan karyawan atau mendorongnya agar mengajukan promosi, (8) mengizinkan dan mendorong karyawan menghadiri program-program pelatihan dan konferensi, dan (9) mengadakan perayaan makan malam atau makan siang. Bilamana karyawan diakui usaha dan prestasinya maka mereka akan merasakan perasaan positif tentang diri dan kompetensi profesionalnya sehingga dapat menciptakan perasaan berharga pada dirinya.[3]
Pekerjaan menantang merupakan tugas-tugas yang bersifat menantang dan memotivasi karyawan. Setiap karyawan lebih menyukai tugas-tugas tertentu daripada tugas lainnya sehingga dapat menemukan mana tugas-tugas yang lebih menantang daripada tugas lainnya. Bagi pemimpin perlu mengidentifikasi tugas-tugas atau aktivitas-aktivitas karyawannya dengan cara: (1) mengkaji beban tugas tertentu, (2) pembicaraan dengan masyarakat, (3) berpartisipasi dalam sebuah tim yang bersifat multidisipliner, (4) mengkoordinasikan program pelayanan yang baru, dan (5) berperan sebagai jembatan penyedia layanan bagi masyarakat.[4]
Karyawan yang merasa bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri dapat meningkatkan kepuasan kerjanya. Strategi-strategi untuk meningkatkan tanggung jawab dan akuntabilitas adalah sebagai berikut: (1) secara gradual meningkatkan otonomi karyawan dalam melaksanakan aktivitasnya dan dalam pembuatan keputusan supaya sebagai karyawan akan mendapatkan keahlian, (2) memberikan karyawan kebebasan untuk menjadi kreatif, (3) mengidentifikasi keputusan-keputusan sehingga karyawan dan unit kerja dapat membuat keputusan sendiri dan terlibat dalam pembuatan keputusan, (4) meminta karyawan tertentu supaya menduduki jabatan sementara ketika atasannya sedang tidak berada di kantor, (5) meminta karyawan yang berpengalaman agar berperan sebagai contoh bagi karyawan baru, (6) mendorong karyawan memberikan kontribusi kepada pertemuan-pertemuan unit kerja.[5]
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan kebutuhan setiap karyawan. Sementara itu peluang untuk tumbuh dan berkembang bersifat terbatas. Berikut beberapa strategi untuk mendorong karyawan tumbuh dan berkembang, yakni: (1) mendorong karyawan menghadiri program-program pelatihan dan konferensi, diikuti dengan presentasi pada suatu rapat di unit kerja mengenai apa yang telah dipelajarinya, (2) mendorong atau memberi kesempatan cuti untuk mengikuti pendidikan, (3) memelihara dan memperbaharui bagian perpustakaan dan mendorong karyawan agar membaca buku-buku dan artikel-artikel yang berhubungan dengan pekerjaannya, (4) memberitahukan karyawan tentang riset atau isu terbaru termasuk teknik intervensi yang baru dan maju, (5) kasus dan tugas yang diberikan bersifat menantang pertumbuhan karyawan dan mempromosikan pengembangan profesionalnya, dan (6) mendorong agar karyawan kreatif dan inovatif.[6]
Teori dua faktor tersebut terdiri dari dua dimensi. Dimensi pertama disebut faktor-faktor higinis (hygiene factors), meliputi kondisi kerja, gaji/upah dan keamanan, kebijakan perusahaan, supervisi, dan hubungan antarkaryawan. Dimensi kedua disebut motivator (motivators), meliputi pencapaian prestasi (achievement), pengakuan prestasi (recognition), tanggung jawab (responsibility), pekerjaan itu sendiri (work itself), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Bilamana faktor-faktor higinis tidak ada atau kurang memadai maka terdapat ketidakpuasan. Namun apabila faktor-faktor higinis ada atau memadai maka tidak akan menjadi karyawan merasa puas atau termotivasi untuk bekerja baik, melainkan dinilai biasa-biasa saja. Selanjutnya, kalau faktor-faktor motivator ada maka karyawan akan merasa puas; begitupula sebaliknya jika faktor-faktor motivator tidak ada maka karyawan merasa tidak ada kepuasan.[7] Namun, menurut Cooper dan Sawaf [8] bahwa ketidakpuasan yang konstruktif adalah sebagai rangsangan untuk mendapatkan mutu dan inovasi.

Tingkat Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja terutama ditentukan oleh berbagai imbalan, jumlah imbalan, dan harapan karyawan terhadap imbalan. Faktor-faktor ini meliputi karakteristik pekerjaan itu sendiri, karakteristik organisasi, dan karakteristik karyawan.[9]
Pertama, karakteristik pekerjaan yang mempengaruhi kepuasan adalah kejelasan peran, ruang lingkup peran dan imbalan intrinsik. Kejelasan peran menyangkut seberapa baik karyawan memahami tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Peran yang membingungkan dan bersifat konflik dapat menurunkan kepuasan kerja di kalangan karyawan.
Ruang lingkup pekerjaan berkaitan dengan banyaknya variasi, otonomi, tanggung jawab dan umpan balik yang diberikan oleh pekerjaan itu sendiri. Studi tentang pengaruh ruang lingkup pekerjaan atas sikap karyawan secara umum ditemukan bahwa ruang lingkup pekerjaan meningkat berhubungan dengan kepuasan kerja yang meningkat. Karyawan mungkin tidak melihat pekerjaannya dengan akurat, dan kepuasan kerja dipengaruhi lebih banyak oleh karakteristik pekerjaan yang dipersepsikan daripada oleh karakteristik pekerjaan yang sesungguhnya. Karyawan menanggapi pekerjaannya didasari atas nilai-nilai dan kecenderungannya.
Selanjutnya, karyawan menerima berbagai imbalan intrinsik dan imbalan ekstrinsik dari pekerjaannya. Beberapa imbalan intrinsik yang penting termasuk pencapaian, pengakuan, dan peluang untuk pertumbuhan pribadi. Imbalan ekstrinsik mencakup gaji, manfaat dari perusahaan, dan status. Semua imbalan ini cenderung meningkatkan kepuasan kerja, tetapi tidak selalu.
Kedua, karakteristik organisasi yang mempengaruhi kepuasan kerja meliputi penyempurnaan administratif, teknologi, otonomi yang lebih besar, keterlibatan yang lebih besar dalam pembuatan keputusan. Ketiga, karakteristik karyawan yang mempengaruhi kepuasan kerja meliputi usia, pendidikan dan jabatan.[10]
Dalam konteks pendapatan yang diterima karyawan, Schuler dan Huber mengatakan bahwa terdapat tiga determinan pokok yang mempengaruhi kepuasan terhadap pendapatan, yakni: (1) keadilan pendapatan, (2) tingkat pendapatan, dan (3) prakek administrasi pendapatan.[11]
Keadilan dalam mendapatkan penghasilan merujuk pada apa yang diyakini orang bahwa dia layak dibayar sebesar itu sebagaimana yang dibayarkan juga kepada orang lain. Kecenderungan bagi orang untuk menentukan apa yang mereka dan orang lain patut dibayar adalah membandingkan dengan apa yang mereka berikan kepada organisasi dan apa yang diperoleh di luar organisasi. Dalam membandingkan dirinya dengan orang lain maka orang memutuskan apakah mereka dibayar secara adil. Jika mereka menganggap kompensasi ini dirasakan adil maka mereka mungkin merasa lebih puas. Jika mereka merasa dibayar secara tidak adil maka mereka mungkin merasa tidak puas. Keadilan dapat juga ditingkatkan dengan adanya sarana kotak saran (voice) dan proses perlindungan bagi karyawan (due process to employees) dengan menetapkan prosedur pengajuan pengaduan secara formal (formal appeals procedures).[12]
Tingkat penghasilan merupakan penentu penting bagi kepuasan terhadap penghasilan. Karyawan membandingkan tingkat penghasilannya dengan apa yang diyakini yang seharusnya diterimanya. Hasil dari perbandingan tersebut adalah kepuasan dengan penghasilan jika tingkat yang seharusnya dibayar sama dengan tingkat yang sebenarnya dibayar. Ketidakpuasan terhadap pembayaran ditimbulkan jika tingkat pembayaran aktual lebih kecil daripada tingkat yang seharusnya dibayar.[13]
Praktek administrasi pembayaran kepada para karyawan harus mempertimbangkan kesesuaiannya dengan praktek pengupahan dan penggajian yang dilakukan oleh perusahaan lain kepada karyawannya. Penentuan pembayaran atas pekerjaan dapat meningkatkan kepuasan terhadap penghasilan bila dilihat sebagai filosofi pekerjaan yang sama akan mendapatkan pembayaran yang sama. Penentuan kesamaan pembayaran untuk pekerjaan yang dinilai sama dapat dibantu dengan praktek evaluasi pekerjaan yang bagus. Kemudian sistem pembayaran untuk kinerja harus disertai dengan metode pengukuran kinerja karyawan secara tepat dan cukup terbuka bagi karyawan sehingga mereka dapat melihat secara jelas hubungan antara pembayaran dan kinerja. Selanjutnya, tingkat kompensasi dan struktur pembayaran seharusnya dikajiulang secara terus menerus dan dilakukan pembaharuan jika diperlukan. Isi dari suatu jabatan mungkin meningkat atau menurun.
Akhirnya, praktek administrasi pembayaran melibatkan pemeliharaan kepercayaan dan konsistensi. Karyawan harus melihat bahwa organisasi harus berhati-hati baik terhadap kepentingan karyawan maupun kepentingan organisasi. Tanpa kepercayaan dan konsistensi maka kepuasan terhadap penghasilan adalah rendah, dan penghasilan menjadi suatu target keluhan yang tidak memperhatikan isu-isu nyata.[14]

Konsekuensi Kepuasan Kerja
Dari para peneliti ditemukan bahwa dampak kepuasan kerja lebih banyak pada produktivitas karyawan, tingkat absensi karyawan, dan tingkat pergantian karyawan. Hubungan antara kepuasan dengan kinerja secara singkat dikatakan, “karyawan yang bahagia adalah karyawan yang produktif,” karyawan merasa lebih puas dengan pekerjaannya maka akan melaksanakan tugas pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan yang kurang puas.[15]
Namun keyakinan pada prinsip di atas lebih didasari atas pemikiran intuitif dan bukan dari bukti yang kuat. Suatu kajian penelitian diperoleh bahwa ada hubungan yang positif antara kepuasan dengan produktivitas tetapi hanya +0,14. Hubungan keduanya lebih kuat apabila perilaku karyawan tidak dikontrol atau tidak dihambat oleh faktor luar seperti kecepatan mesin.[16] Menurut Joseph Prokopenko, “Increased job satisfaction itself can also result in higher productivity and better motivation.”[17]
Hubungan kepuasan kerja dengan tingkat absensi adalah bersifat negatif, sebesar -0,40. Memang masuk akal bahwa karyawan yang tidak puas biasanya mangkir dari pekerjaan. Selanjutnya hubungan kepuasan kerja dengan tingkat pergantian karyawan juga bersifat negatif. Karyawan yang tidak puas akan memberi empat jenis tanggapan yang dinilai atas dasar dimensi konstruktif-diskonstruktif dan aktif-pasif. Tanggapan pertama disebut keluar (exit), tingkah laku karyawan diarahkan untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru dan berhenti bekerja. Tanggapan kedua disebut bersuara (voice), berusaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah-masalah dengan penyelia, dan sebagainya. Tanggapan ketiga disebut loyal (loyalty), secara pasif tetapi optimis menunggu kondisi berubah, termasuk membicarakannya kepada organisasi dalam menghadapi kritikan dari luar dan mempercayai organisasi dan manajemen untuk melakukan segala sesuatu yang benar. Tanggapan keempat disebut pengabaian (neglect), secara pasif membiarkan kondisi terus menjadi buruk, termasuk tingkat absensi atau keterlambatan yang parah, lesu, dan tingkat kesalahan meningkat.[18] Secara grafis digambarkan di bawah ini.

Aktif




EXIT VOICE




Destruktif Konstruktif



NEGLECT LOYALTY



Pasif


Gambar 2.14: Tanggapan terhadap Ketidakpuasan Kerja

Sumber: Stephen P. Robbins, Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications (New Jersey: Prentice-Hall International, Inc., 1998), p. 157.

2.4 Hubungan Kepemimpinan, Komitmen Kerja dan Kepuasan Kerja
Pada dasarnya kepuasan kerja menyangkut sikap seseorang terhadap lingkungan di mana dia berada/bekerja. Semakin positif sikapnya terhadap berbagai aspek lingkungan kerja maka dia merasa puas. Begitu juga sebaliknya, semakin negatif sikapnya terhadap lingkungan kerja di sekitarnya maka dia merasa tidak puas.
Robert C. Beck (1990: 347) mengartikan kepuasan kerja sebagai sikap seseorang terhadap pekerjaannya, dan sikap ini adalah respons emosional terhadap sesuatu, termasuk pekerjaan yang bervariasi mulai dari positif sampai negatif dalam berbagai derajadnya. Selanjutnya, Baron dan Byrne (1991: 616) mengartikan kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif manusia terhadap pekerjaannya. Singkatnya, bahwa kepuasan kerja merupakan serangkaian perasaan dan emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan pegawai terhadap pekerjaannya.
Berdasarkan berbagai definsi dan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah derajad perasaan yang dirasakan pegawai secara sadar terhadap apa yang diharapkan diterima dari pelaksanaan pekerjaannya, konteks pekerjaan, konten pekerjaan, dan keseimbangan yang dirasakannya. Dalam definisi tersebut mengandung dimensi-dimensi kepuasan kerja, yaitu perasaan pegawai, konteks pekerjaan, konten pekerjaan, dan keseimbangan. Dimensi-dimensi tersebut dapat menimbulkan kepuasan dan sekaligus ketidakpuasan kerja.
George dan Jones (1996: 70-71) mengatakan bahwa kepuasan kerja ditentukan oleh empat faktor pokok: kepribadian, nilai-nilai, situasi kerja, dan pengaruh sosial. Pertama, kepribadian individu mempengaruhi tingkat pikiran dan perasaan, baik positif maupun negatif tentang pekerjaannya. Kedua, nilai-nilai yang dipegang individu mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karena mencerminkan keyakinan mereka tentang hasil sehingga pekerjaan seharusnya mengarahkan dan bagaimana seorang individu berperilaku di tempat kerja. Ketiga, situasi kerja, di mana tugas-tugas yang dilaksanakan oleh seseorang, rekan kerja, nasabah, temperatur, jam kerja, keamanan kerja, imbalan dan sebagainya. Namun sebagaian besar karyawan merasa lebih puas dengan pekerjaan yang membayar upah/gaji lebih baik daripada yang membayar lebih rendah dan tidak merasa aman. Keempat, pengaruh sosial dari rekan kerja, budaya, dan kelompok. blishing Company, 1996), p. 71.
[1]Supervising Child Protective Services Caseworkers, Increasing Job Satisfaction and Preventing Burnout, (2001), p. 1 (http://www.calib.com/nccanch/pubs/usermanuals/supercps/satisfy.htm).

[2]Ibid., pp. 2-3.
[3]Ibid., p. 2.
[4]Ibid., pp. 2-3.

[5]Ibid., p. 3.
[6]Ibid., pp. 3-4.
[7]Richard L. Daft, Leadership: Theory and Practice (Fort Worth: The Dryden Press, 1999), p. 244.

[8]Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), p. 187.
[9]Cherrington, op. cit., p. 285.
[10]Ibid.., pp. 285-288.

[11]Randall S. Schuler dan Vandra L. Huber, Personnel and Human Resources Management (Minneapolis/St. Paul: West Publishing Company, 1993), pp. 398-399.
[12]Ibid., pp. 398-399.

[13]Ibid., pp. 398-399.
[14]Ibid., pp. 398-399.

[15]George dan Jones, op. cit., p. 80.

[16]Robbins, op. cit., p. 154.

[17]Joseph Prokopenko, Productivity Management: A Practical Handbook (Geneva: International Labour Office, 1987), p. 224.
[18]Robbins., pp. 156-157.

KOMITMEN PEGAWAI

Pengertian komitmen merujuk pada kesetiaan dan loyalitas. Komitmen didefinisikan sebagai kekuatan relatif dari identifikasi dan keterlibatan individu kepada organisasi tertentu.[1] Kiesler dan Sakumura seperti yang dikutip oleh Salancik mengartikan komitmen sebagai ikatan antara individu dan tindakan perilaku.[2] Bahkan kata komitmen diartikan sebagai suatu karakteristik intelektual, sifat pribadi seperti kejujuran, yang tidak dapat dimandatkan atau dipaksakan dari luar.[3] Secara singkat, dikatakan bahwa keterikatan karyawan dengan organisasi dibangun dan dijaga atas dasar kerelaan untuk saling memberi dan menerima keunggulan kompetensi dari kedua pihak.
Perhatian terhadap pentingnya komitmen dalam organisasi telah berkembang menjadi dua aliran pemikiran. Aliran pemikiran pertama adalah pendekatan dari kontrol ke pendekatan komitmen yang dipelopori oleh Walton, yang melihat strategi komitmen sebagai suatu pendekatan yang lebih bersifat imbalan pada pengelolaan sumber daya manusia. Menurut aliran pertama ini bahwa kinerja karyawan meningkat jika pendekatan yang berorientasi pada kontrol dihilangkan dalam mengelola karyawan dan diganti dengan strategi komitmen. Aliran pemikiran kedua adalah keunggulan bangsa Jepang yang telah sukses memotivasi karyawan dengan mendapatkan komitmen yang penuh dari karyawan terhadap nilai-nilai organisasi, yang mana pendekatan ini disebut juga hearts and minds approach.[4]
Esensi komitmen adalah menjadikan sasaran karyawan dan sasaran perusahaan menjadi satu dan sama. Keterikatan yang kuat dengan sasaran kelompok apabila sasaran-sasaran itu sangat selaras dengan sasaran karyawan. Mereka yang menghargai dan berpegang teguh kepada misi perusahaan bersedia untuk tidak hanya berusaha sepenuh hati atas nama perusahaan, tetapi juga berkorban bilamana itu diperlukan. Karyawan yang terinspirasi oleh sasaran bersama seringkali tingkat komitmennya lebih tinggi dibanding komitmen yang datang karena insentif finansial.[5]
Komitmen dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu: visibilitas, ketegasan, keteguhan perilaku, dan kemauan pribadi. Pertama adalah visibilitas, merupakan perilaku yang dapat diamati oleh orang lain. Cara sederhana untuk membuat individu mempunyai komitmen pada organisasi adalah dengan melihat dukungannya kepada organisasi beserta tujuan-tujuannya. Visibilitas harus dikombinasikan dengan ketegasan. Kedua adalah ketegasan, berarti individu tidak dapat menyangkal perilaku yang terjadi. Ketegasan perilaku tergantung pada dua faktor, ialah dapat diamati dan jelas atau tidak samar-samar. Kalau perilaku yang tidak dapat diamati kecuali dengan cara merujuk maka hal ini kurang jelas. Ketiga adalah keteguhan perilaku, yakni perilaku adalah permanen, tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan. Keempat adalah kemauan pribadi yang mengikat karyawan pada tindakannya, yakni tanggung jawab pribadi.[6]
Tingkat kemauan dari tindakan berhubungan dengan (1) pilihan, (2) adanya tuntutan eksternal untuk bertindak, (3) adanya dasar ekstrinsik untuk bertindak, dan (4) adanya kontributor lainnya untuk bertindak.[7]
Dessler mengatakan bahwa penciptaan komitmen membutuhkan suatu program yang komprehensif sehingga dia mempertanyakan harus mulai dari mana. Secara ringkas Dessler menguraikan komitmen dalam suatu rangkaian yang disebut commitment wheel (roda komitmen) yang terdiri dari delapan unsur pokok yang perlu dilakukan perusahaan.
1. Nilai-nilai yang mengutamakan manusia (people-first values). Untuk melembagakan nilai-nilai ini diperlukan empat langkah.
a. Proses awal untuk menciptakan komitmen dengan meyakinkan bagaimana pandangan manajemen puncak terhadap karyawan, harus meletakkan karyawan sebagai yang utama dalam setiap tindakan, setiap proses perencanaan, dan setiap keputusan bisnis yang dibuat.
b. Nilai-nilai yang mengutamakan karyawan dibuat secara tertulis.
c. Merekrut karyawan yang mempunyai nilai-nilai kemanusiaan sejak awal. Menyusun prosedur wawancara untuk menolak orang yang tidak mempunyai ketrampilan dan nilai-nilai untuk melaksanakan pekerjaan.
d. Menterjemahkan nilai-nilai yang mengutamakan karyawan ke dalam bentuk tindakan.
2. Komunikasi dua arah secara terbuka dan jujur yang membantu membangun kepercayaan. Untuk melaksanakan ini maka perusahaan perlu melembagakan prosedur-prosedur yang menjamin perlakuan yang adil bagi semua karyawan dalam mengatasi keluhan dan masalah-masalah disiplin.
3. Penciptaan rasa kebersamaan di antara karyawan sebagai suatu bagian dari masyarakat yang kohesif dan merasa senasib.
4. Perumusan idiologis, misi, dan nilai-nilai serta mekanisme untuk mengkomunikasikan nilai-nilai kepada karyawan.
5. Merekrut karyawan yang didasarkan atas nilai dengan memilih karyawan yang mempunyai nilai-nilai yang sesuai dengan perusahaan. Untuk melaksanakan ini dengan mengklarifikasi idiologi perusahaan sehingga unsur-unsurnya dapat diterjemahkan ke dalam pertanyaan, ujian, atau latihan yang konkrit yang merupakan bagian dari proses seleksi perusahaan.
6. Memperjelas komitmen untuk memberikan rasa aman kerja kepada karyawan. Melembagakan praktek-praktek perusahaan yang memberikan kemudahan memperoleh rasa aman kerja pada karyawan.
7. Menawarkan paket imbalan di atas rata-rata yang dikombinasikan dengan imbalan dan manfaat-manfaat lainnya. Membangun suatu paket kompensasi. Menekankan pada pelaporan jam kerja sendiri dibandingkan menggunakan jam kerja perusahaan.
8. Berusaha melaksanakan praktek-praktek yang bertujuan untuk menjamin bahwa semua karyawan mempunyai peluang untuk menggunakan semua ketrampilan dan kemampuannya di tempat kerja.[8]
Namun seperti yang dikritisi oleh Armstrong bahwa dalam konsep komitmen terdapat tiga masalah utama, yaitu: (1) adanya penyederhanaan dalam menerima konsep komitmen sebagai suatu kerangka pikir yang sama (unitary frame of reference) dan ini merupakan asumsi yang tidak realistis karena suatu organisasi terdiri dari berbagai kepentingan manusia; (2) komitmen sebagai penghambat fleksibelitas, karena karyawan terikat dengan seperangkat nilai dan tujuan sehingga mereka tidak mampu mengatasi kebingungan dan ketidakpastian yang terjadi dalam kehidupan organisasi. Akibatnya, kecocokan karyawan dengan nilai yang dipaksakan akan menghambat pemecahan masalah yang bersifat kreatif, resistensi terhadap perubahan dan tingkat stres tinggi, (3) terdapat suatu keyakinan nilai positif dari komitmen bahwa karyawan yang mempunyai komitmen tinggi berhubungan dengan tingkat perpindahan dan absensi karyawan yang rendah.[9]
McKinsey & Company telah mengembangkan model komitmen yang disebut the five key commitments model.[10] Grup konsultan ini mengatakan bahwa para manajer yang unggul dapat menciptakan kesan yang kuat dan positif dari orang lain karena mereka menggabungkan serangkaian keyakinan yang positif dengan perilaku yang positif pula. Berdasarkan model komitmen tersebut terdapat lima jenis komitmen yang pokok, yaitu:
1. Komitmen Kepada Nasabah
Komitmen manajemen yang paling penting adalah komitmen kepada nasabah. Manajer yang unggul berusaha untuk memberikan pelayanan yang baik kepada nasabah. Nasabah di sini diartikan sebagai siapa saja yang seharusnya berhak mendapatkan manfaat dari pekerjaan yang dilakukan oleh manajer unit. Pengertian nasabah di sini baik yang berada di dalam perusahaan, disebut nasabah internal, maupun yang berada di luar perusahaan, disebut nasabah eksternal. Ada dua cara yang dapat dilakukan oleh manajer unggul yang menunjukkan komitmen kuat kepada nasabah, yakni: melayani nasabah dan membangun akan pentingnya nasabah melalui (1) pada tahap awal mengkomunikasikan pentingnya nasabah kepada para karyawan, (2) memperlakukan nasabah sebagai prioritas yang utama, dan (3) melarang memberikan komentar destruktif tentang orang yang menggunakan produk atau jasa kelompok kerja mereka.
2. Komitmen Kepada Organisasi
Seorang manajer secara positif menunjukkan komitmennya kepada organisasi dalam tiga cara: (1) membangun organisasi, (2) mendukung manajemen yang lebih tinggi, dan (3) melaksanakan nilai-nilai dasar organisasi.
3. Komitmen Kepada Diri Sendiri
Manajer yang unggul menunjukkan citra yang kuat dan positif terhadap orang lain. Manajer yang baik dilihat sebagai individu yang menggabungkan kekuatan dengan rasa rendah hati. Komitmen kepada diri sendiri dibuktikan dalam tiga kegiatan yang pokok: (1) menunjukkan otonomi, (2) membangun diri sebagai seorang manajer (karyawan), dan (3) menerima kritik yang konstruktif.
4. Komitmen Kepada Anggota Kelompok
Para manajer yang unggul memperlihatkan dedikasi kepada orang yang bekerja untuknya. Komitmen ini menunjukkan manajer menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat untuk membantu para individu agar sukses dalam tugasnya. Ada tiga kegiatan pokok yang menunjukkan seseorang mempunyai komitmen ini: (1) menunjukkan adanya pengakuan dan kepedulian yang positif, (2) memberikan umpan balik yang bersifat membangun, dan (3) mendorong gagasan-gagasan yang inovatif.
5. Komitmen Kepada Tugas
Para manajer yang sukses memberikan makna dan relevansi kepada tugas yang dilaksanakan. Mereka memberikan fokus dan arah, serta menjamin penyelesaian tugas dengan sukses. Komitmen ini dicapai dengan: (1) menjaga agar tetap fokus, (2) menjaga agar tetap sederhana, (3) berorientasi pada tindakan, dan (4) membangun akan pentingnya tugas.[11]
Komitmen berhubungan dengan pekerjaan dalam berbagai bentuk seperti pekerjaan, karir, profesional, organisasional, dan sebagainya. Dalam konteks pembahasan komitmen ini difokuskan pada satu konstruk komitmen organisasional. Komitmen organisasional didefinisikan sebagai suatu derajad identifikasi psikologis atau kelekatan dengan organisasi di mana karyawan bekerja. Komitmen organisasi berkaitan dengan faktor pribadi dan faktor organisasi. Para karyawan yang berusia lebih tua dan telah bekerja lebih dari dua tahun serta mempunyai kebutuhan tinggi untuk berprestasi adalah sangat mungkin memiliki komitmen organisasional yang tinggi.[12]
Selanjutnya, komitmen organisasional didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mana seorang karyawan mengidentifikasikan diri dengan organisasi tertentu beserta tujuan-tujuannya dan mau menjaga keanggotaannya di dalam organisasi tersebut.[13]
Komitmen organisasional juga diartikan sebagai ikatan psikologis individu dengan organisasi, termasuk keterlibatan dalam pekerjaan, loyalitas, dan keyakinan pada nilai-nilai organisasi. Dalam konteks ini terdapat tiga proses atau tahap dari komitmen: kepatuhan, identifikasi, dan internalisasi. Pertama, tahap kepatuhan seseorang menerima pengaruh dari orang lain agar dapat memperoleh sesuatu dari orang tersebut, seperti upah atau gaji. Kedua, tahap identifikasi individu menerima pengaruh agar supaya dapat menjaga hubungan yang menyenangkan. Karyawan merasa bangga berada di dalam perusahaan itu. Ketiga, tahap internalisasi individu menemukan bahwa nilai-nilai organisasi secara intrinsik memberi imbalan dan cocok dengan nilai-nilai pribadi karyawan.[14]
Definisi lainnya adalah komitmen organisasional diartikan sebagai suatu himpunan dari perasaan dan keyakinan yang dimiliki manajer tentang organisasinya secara keseluruhan.[15] Siegel dan Lane mendefinisikan komitmen organisasional sebagai kekuatan relatif identifikasi dan keterlibatan seorang individu dengan suatu organisasi tertentu.[16] Model komitmen organisasional terdiri dari empat kategori yang disebut antecedents of organizational commitments.
1. Karakteristik pribadi. Komitmen organisasional umumnya lebih tinggi pada karyawan yang berusia lebih tua dan masa kerjanya lebih lama. Karyawan yang mempunyai nilai kerja instrinsik adalah lebih terikat. Sebagai suatu kelompok, karyawan wanita cenderung lebih terikat kepada organisasi dibandingkan dengan karyawan pria, dan karyawan yang kurang berpendidikan juga cenderung lebih berkomitmen dibandingkan dengan karyawan yang berpendidikan tinggi.[17]
2. Karakteristik pekerjaan. Komitmen organisasional cenderung lebih kuat di antara karyawan pada pekerjaan yang menantang dan pada pekerjaan yang tingkat konflik serta ketidakjelasannya rendah.[18]
3. Karakteristik struktural. Komitmen organisasional lebih kuat pada karyawan di perusahaan yang dimiliki karyawan dan pada organisasi yang bersifat desentralistik, yang lebih banyak terlibat di dalam pembuatan keputusan krusial bagi organisasi.[19]
4. Pengalaman pekerjaan. Komitmen organisasional cenderung lebih kuat pada karyawan yang mempunyai pengalaman kerja menarik di tempat kerja seperti sikap rekan kerja yang positif, perasaan terhadap organisasi yang memenuhi harapan karyawan, perasaan bahwa organisasi dapat dipercaya untuk memenuhi komitmennya kepada karyawan, dan perasaan bahwa karyawan dinilai penting bagi organisasi. Kemudian karyawan menunjukkan lebih berkomitmen bilamana perusahaan mempunyai prosedur rekrutmen dan orientasi yang dikembangkan dengan baik serta sistem nilai organisasi yang didefinisikan dengan baik.[20]


Secara singkat dapat dikatakan bahwa faktor kepribadian dan situasional berpotensi untuk mempengaruhi komitmen organisasional. Misalnya karyawan yang berkomitmen menunjukkan perilaku bertanggung jawab secara sosial, memberikan kontribusi kepada masyarakat, dan kepeduliannya pada nilai-nilai serta sesama karyawan makin meningkat.

[1]Michael Armstrong, Personnel Management Practice (London: Kogan Page, 1995), p. 173.

[2]Gerald R. Salancik, “Commitment and the Control of Organizational Behavior and Belief,” Psychological Dimensions of Organizational Behavior, ed. Barry M Staw (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1995), p. 284.

[3]Mark Graham Brown, Darcy E. Hitchcock dan Marsha L. Willard, Why TQM Fails and That to Do About It (New York: Richard D. Irwin, Inc., 1994), p. 5.
[4]Ibid., pp. 174-175.

[5]Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo (Jakarta: PT Gramedia, 1999), pp. 191-192.

[6]Margaret A. Neale dan Gregory B. Northcraft, “Factors Influencing Organizational Commitment,” Motivation and Work Behavior, ed. Richard M. Steers dan Lyman W. Porter (Singapore: McGraw-Hill, Inc., 1991), pp. 290-296.

[7]Salancik, op. cit., pp. 285-286.
[8]Dessler, op. cit., pp. 153-162.

[9]Armstrong, op. cit., pp. 175-177.

[10]Paul Hersey, Kenneth H. Blanchard dan Dewey E. Johnson, Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1996), p. 446.
[11]Ibid., pp. 447-453.
[12]Ibid., pp. 447-453.

[13]Stephen P. Robbins, Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1998), p. 142.

[14]Charles O’Reilly, “Corporations, Culture, and Commitment: Motivation and Social Control in Organizations,” Psychological Dimensions of Organizational Behavior, ed. Barry M Staw (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1995), p. 322.

[15]Jones, George dan Hill, op. cit., p. 349.

[16]Laurence Siegel dan Irving M. Lane, Personnel and Organizational Psychology (Illinois: Irwin, 1987), p. 440.

[17]Cherrington, op. cit., p. 276.

[18]Ibid., p. 276.

[19]Ibid., p. 276.

[20]Ibid., p. 276.

KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan (leadership) didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang agar mau mengikuti arahannya atau mengikuti keputusannya (leadership is the ability to influence people to willingly follow one’s guidance or adhere to one’s decisions).[1] Menurut definisi ini nampak keberhasilan menjalankan peran kepemimpinan sangat tergantung kepada pemimpin itu saja, sedangkan faktor bawahan dan situasi yang dihadapi dianggap tidak menentukan. Namun, Wagner III dan Hollenbeck mengatakan bahwa sesungguhnya pemimpin tidak selalu menentukan, bahkan kadang-kadang seorang pemimpin memimpin adalah karena dipaksakan atau diberikan sangsi oleh para pengikutnya. Jadi tidak semua kegiatan manusia adalah kepemimpinan, melainkan hanya terjadi dalam konteks kelompok yang berorientasi pada tujuan.[2] Pemimpin harus mampu menjalin kerja sama dengan orang lain di dalam kelompoknya.[3]
Menurut Kouzes dan Posner kepemimpinan didefinisikan secara agak berbeda dari pengertian di atas, yakni hubungan timbal balik antara mereka yang memilih untuk memimpin dan mereka yang memilih untuk mengikuti, jadi kepemimpinan menyangkut dinamika hubungan yang timbul karena adanya kebutuhan di antara pemimpin dan yang dipimpin.[4]
Weihrich dan Koontz mendefinisikan kepemimpinan sebagai pengaruh, yakni seni atau proses mempengaruhi orang lain sehingga mereka mau berusaha dengan sukarela dan bersemangat untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok.[5] Dari kedua definisi di atas jika dibandingkan, jelas bahwa definisi kedua menambahkan cara mempengaruhi orang lain tidak dengan cara memaksa, melainkan dengan cara persuasi yang mempertimbangkan dimensi emosi manusia sehingga jika orang lain mengikuti pemimpinnya semata-mata karena sukarela dan merasa senang. Upaya mempengaruhi sisi emosi manusia diakui memang membutuhkan proses yang bertahap dan bersifat seni. Namun segala aspek mengenai seni seringkali bersifat subyektif, dalam arti sangat ditentukan oleh individu yang memimpin. Secara ideal bahwa seseorang seharusnya didorong untuk berkembang tidak hanya mau bekerja tetapi juga mau bekerja dengan bersemangat dan penuh keyakinan. Semangat adalah hasrat, kesungguhan, dan intensitas untuk melaksanakan pekerjaan; sementara keyakinan mencerminkan pengalaman dan kemampuan teknis. Pemimpin berbuat untuk membantu kelompok mencapai tujuannya melalui penerapan kemampuan dengan maksimal.
Rost mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu hubungan pengaruh antara pemimpin dan pengikut yang bermaksud melakukan perubahan yang mencerminkan maksud bersama mereka.[6] Selanjutnya, kepemimpinan diartikan juga sebagai proses mempengaruhi orang untuk mengarahkan upaya mereka mencapai tujuan-tujuan tertentu.[7] Mant mengemukakan bahwa kepemimpinan berhubungan dengan dua aspek yang cukup berbeda, yakni: proses yang berlangsung antara pemimpin dan pengikut (terutama aspek emosional dan intelektual) dan konteks dari kepemimpinan (berhubungan dengan tujuan yang diinginkan pemimpin, biasanya rasional dan emosional).[8]
Definisi tersebut tidak memfokuskan pada kegiatan manusia di dalam perusahaan sehingga arti kepemimpinan di sini bersifat umum. Namun dikatakan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mempunyai visi tentang mau dibawa ke mana organisasinya, mempunyai kemampuan untuk membangkitkan semangat para pengikutnya untuk mencapai tujuan. Suatu visi di dalam organisasi tidak dapat dibentuk dengan cara membuat maklumat, atau menggunakan kekuatan atau pemaksaan.[9]
Oleh karena itu, sebagian pemimpin ada yang efektif dan banyak juga yang tidak. Efektif atau tidak efektif seorang pemimpin ditentukan oleh dua faktor: (1) karakteristik kepemimpinan seperti yang dijelaskan dalam teori sifat kepemimpinan (trait theory) dan (2) karakteristik pribadi, seperti: kemampuan mental yang superior, kematangan emosi, dorongan emosi, ketrampilan pemecahan masalah, ketrampilan manajerial, dan ketrampilan kepemimpinan.[10]
Kepemimpinan didefinisikan juga sebagai penggunaan pengaruh oleh seseorang anggota dari suatu kelompok atau organisasi atas anggota kelompok yang lain untuk membantu kelompok atau organisasi tersebut mencapai tujuannya.[11]
Ada dua unsur yang menonjol dalam definisi ini, pertama, kepemimpinan menyangkut penggunaan pengaruh atas anggota yang lain dari suatu kelompok atau organisasi, kedua membantu kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuannya. Efektivitas pemimpin ditentukan oleh intensitas pemimpin tersebut membantu organisasi mencapai tujuannya. Jadi pemimpin yang efektif adalah yang membantu mencapai tujuan, sedangkan yang tidak efektif adalah yang tidak membantu mencapai tujuan.[12]
Kepemimpinan didefinisikan sebagai perilaku yang bermaksud untuk mempengaruhi orang lain supaya memberikan kontribusi pada tujuan yang disepakati untuk memberikan manfaat bagi para individu termasuk organisasi atau keduanya.[13]
Jago mendefinisikan kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh yang tidak memaksa untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan anggota dari suatu kelompok yang terorganisasikan untuk mencapai tujuan dari kelompok tersebut.[14]
Menurut definisi di atas pemimpin melaksanakan beberapa fungsi penting untuk kelompoknya. Pemimpin bertanggung jawab untuk menghasilkan dan memelihara tingkat upaya yang dibutuhkan dari para anggota kelompok secara individual. Dalam konteks ini, pemimpin bertanggung jawab mengarahkan upaya individu dengan cara-cara yang meningkatkan daya tahan dan pencapaian tujuan kelompok. Satu aspek yang penting dalam mengarahkan kelompok adalah menjamin adanya koordinasi antaranggota kelompok. Kemudian pemimpin memfasilitasi keanggotaan kelompok dengan menarik orang lain beserta misinya ke kelompok, dan memenuhi kebutuhan anggota kelompok.
Stoner dan kawan-kawan mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses untuk mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berhubungan dengan tugas dari anggota kelompok.[15] Definisi ini mempunyai empat implikasi kepemimpinan. Pertama, dalam kepemimpinan menyangkut orang lain-karyawan atau pengikut. Dengan kemauannya untuk mendengar arahan dari pemimpin maka anggota kelompok dapat membantu menentukan status kepemimpinan dan menjadikan proses kepemimpinan berlangsung karena tanpa ada orang yang dipimpin maka semua kualitas kepemimpinan yang ada pada manajer menjadi tidak relevan.
Kedua, kepemimpinan menyangkut distribusi kekuatan yang tidak merata antara pemimpin dan para anggota kelompok. Ketiga, kepemimpinan menyangkut kemampuan menggunakan berbagai bentuk kekuatan untuk mempengaruhi perilaku para pengikut dengan berbagai cara. Keempat, kepemimpinan menyangkut nilai-nilai, dan ini mengkombinasikan tiga aspek di atas. Pemimpin yang mengabaikan unsur moral akan menjadi lebih buruk.[16]
Kouzes dan Posner mengklasifikasikan nilai-nilai ini menjadi dua: (1) nilai-nilai kultural perusahaan seperti kepercayaan, solidaritas, pelayanan, dan pelatihan; (2) nilai-nilai pribadi secara individual, termasuk tanggung jawab, ketepatan, kejujuran, rendah hati, kecermatan, kesabaran, pelayanan, dan upaya untuk mencari kualitas pribadi yang menyeluruh.[17]
Dengan nilai-nilai yang dimiliki pemimpin maka dia dituntut memimpin dengan memberikan contoh (lead by example) dan memungkinkan: menantang proses, menginspirasi visi yang merata, mendorong orang lain bertindak, menjadi model bertindak, dan meningkatkan semangat.[18]
Kepemimpinan diartikan pula sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas seorang individu atau kelompok dalam upayanya mencapai tujuan di dalam situasi tertentu.[19] Dari definisi tersebut bahwa proses kepemimpinan merupakan fungsi dari tiga variabel yakni: pemimpin, pengikut, dan situasi. Kepemimpinan didefinisikan sebagai seorang individu menggunakan pengaruh yang bersifat meningkat atas orang lain dengan tingkat kepatuhan di atas atau melebihi arah yang rutin.[20]
Menurut definisi tersebut bahwa kepemimpinan baru terjadi bilamana individu mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu dengan cara sukarela dan dengan hasil di atas persyaratan minimum dari peran pekerjaannya.[21] Pemimpin dapat menggunakan kekuatan supaya orang lain patuh dengan sukarela. Pemimpin harus membangun budaya yang meningkatkan kepercayaan, partisipasi, komunikasi, inspirasi, dan pemberdayaan perorangan.[22]
Seperti dikatakan oleh Bennis bahwa pemimpin pertama-tama menciptakan kondisi yang meningkatkan kemampuan semua karyawan untuk membuat keputusan dan menciptakan perubahan serta membantu para pengikutnya untuk mencapai potensi kepemimpinan mereka secara penuh. [23] Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, siapa saja dapat menjadi pemimpin di organisasi apakah dia secara individual diangkat atau tidak diangkat. Bagi sebagian besar organisasi bahwa pemimpin nonformal sangat penting bagi efektivitas organisasi.[24] Namun Mendenhall dan kawan-kawan membedakan secara tegas antara pemimpin dengan orang pada umumnya, paling tidak dalam tiga hal pembeda, yakni:
1. Pemimpin mempunyai visi, suatu obsesi tentang apa yang perlu dicapai di dalam organisasi, kelompok, atau masyarakat. Pemimpin melihat ke depan ke mana kelompok seharusnya dibawa.
2. Pemimpin memberikan inspirasi kepada orang lain agar mengikuti visinya, bekerja untuk mewujudkannya. Secara umum, visi memberikan semangat kepada pemimpin untuk bekerja keras dan mempunyai energi fisik yang tinggi serta semangat yang diikuti oleh para pengikutnya. Pemimpin juga dapat membujuk mayoritas dari kelompoknya agar bekerja mencapai visinya.
3. Pemimpin dapat mengorganisasikan para pengikutnya secara kompak, kelompok yang loyal, dan memberikan imbalan kepada pengikutnya agar mereka tetap pada tujuan untuk mencapai visinya.[25]
Robbins mengartikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan.[26] Sumber pengaruh ini dapat bersifat formal seperti posisi struktural yang diberikan organisasi untuk memimpin unit kerja tertentu, atau bersifat informal. Definisi kepemimpinan lainnya adalah diartikan sebagai suatu hubungan pengaruh antara pemimpin dan pengikut yang bermaksud melakukan perubahan riil yang dicerminkan oleh maksud bersama mereka.[27]
Definisi terakhir ini mengandung beberapa unsur pokok. Di antaranya, kepemimpinan menyangkut pengaruh yang terjadi antarmanusia, orang-orang ini secara sengaja bermaksud melakukan perubahan yang signifikan dan perubahan itu mencerminkan adanya maksud bersama antara pemimpin dan pengikut. Pengaruh di sini berarti hubungan antarmanusia tidak bersifat pasif, dan terkandung dalam definisi tersebut bahwa pengaruh bersifat multi arah dan tidak memaksa. Namun kepemimpinan bersifat timbal balik. Dalam berbagai organisasi atasan mempengaruhi bawahan, tetapi bawahan juga mempengaruhi atasan. Semua orang yang terlibat di dalam kepemimpinan ini menginginkan perubahan yang substansial.[28]
Kepemimpinan atau peranan seorang pemimpin menurut Siegel dan Lane hanya merupakan satu komponen dari suatu pekerjaan manajerial.[29] Adapun pengertian kepemimpinan itu sendiri adalah kemampuan untuk memberikan semangat kepada orang dan membujuk anggota organisasi agar bergerak menuju ke arah yang diinginkan.[30] Hunt mendefinisikan kepemimpinan adalah kapasitas untuk memobilisasikan pengikut dalam berkompetisi atau dalam konflik kebutuhan potensial.[31] Sedangkan menurut Terry dan kawan-kawan, kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang lain agar mau berusaha mencapai tujuan kelompok.[32]
Esensi kepemimpinan ini pada dasarnya adalah untuk membantu orang lain agar menampilkan segala potensi terbaiknya untuk kepentingan organisasi. Namun karakteristik pengikut atau bawahan berbeda satu sama lain, dan karena itu dalam kepemimpinan mencakup berbagai gaya yang dapat diterapkan.
[1]Leslie W. Rue dan Lloyd L. Byars, Supervision Key Link to Productivitiy (Chicago: Richard D. Irwin, 1996), p. 286.

[2]John A. Wagner III dan John R. Hollenbeck, Management of Organizational Behavior (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1992), p. 410.

[3] Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), p. 85.

[4]James M. Kouzes dan Barry Z. Posner, Kredibilitas, terjemahan Anton Adiwiyoto (Jakarta: Professional Books, 1997), p. 33.

[5]Heinz Weihrich dan Harold Koontz, Management: A Global Perspective (New York: McGraw-Hill, Inc., 1993), p. 490.
[6]Joseph C. Rost , Leadership for the Twenty-First Century, (2001), p. 2 (http://www.joe.org/joe/1994june/tt3.html).

[7]Richard M. Hodgetts, Modern Human Relations at Work (Florida: The Dryden Press, 1999), p. 255.

[8]Alistair Mant, Intelligent Leadership (Sydney: Griffin Press, 1997), p. 22.

[9]Warren Bennis, Jagdish Parikh dan Ronnie Lessem, Beyond Leadership: Balancing Economics, Ethics and Ecology (London: Blackwell Publishers, 1995), p. 60.

[10]Hodgetts, op. cit., pp. 255-258.

[11]Jennifer M. George dan Gareth R. Jones, Understanding and Managing Organizational Behavior (New York: Addison-Wesley Publishing Company, Inc., 1996), p. 359.

[12]Ibid., p. 359.

[13]James C. Sarros dan Oleh Butchatsky, Leadership (Sydney: HarperBusiness, 1997), p. 3.

[14]Wagner III dan Hollenbeck, op. cit., p. 411.

[15]James A.F. Stoner, R. Edward Freeman dan Daniel R. Gilbert, Jr., Management (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1995), p. 470.

[16]Ibid., p. 470.

[17]James M. Kouzes dan Barry Z. Posner, The Leadership Challenge: How to Keep Getting Extraordinary Things Done in Organizations (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1995), pp. 6-7.

[18]Ibid., pp. 8-9.

[19]Paul Hersey, Kenneth H. Blanchard dan Dewey E. Johnson, Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1996), p. 91.

[20]David J. Cherrington, Organizational Behavior: The Management of Individual and Organizational Performance (Massachusetts: Allyn and Bacon, 1994), p. 618.

[21]Richard M. Steers, Lyman W. Porter dan Gregory A. Bigley, Motivation and Leadership at Work (New York: The McGraw-Hill Companis, Inc., 1996), p. 166.

[22]Bob Wall, Robert S. Solum dan Mark R. Sobol, Pemimpin yang Bervisi Kuat, terjemahan Zoelkifli Kasip (Batam: Interaksara, 1999), p. 55.

[23]Warren Bennis, “Menjadi Pemimpin dari Para Pemimpin,” Rethinking the Future ed. Rowan Gibson , terjemahan Hikmat Kusumaningrat (Jakarta: PT Gramedia, 1996), p. 272.

[24]Cherrington, op. cit., pp. 618-619.
[25]Mark Mendenhall, Betty Jane Punnett dan David Ricks, Global Management (Massachusetts: Blackwell Publishers, 1995), p. 570.

[26]Stephen P. Robbins, Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications (New Jersey: A Simon & Schuster Company, 1998), p. 347.

[27]Richard L. Daft, Leadership: Theory and Practice (Fort Worth, Texas: The Dryden Press, 1999), p. 5.

[28]Ibid., p. 5.

[29]Laurence Siegel dan Irving M. Lane, Personnel and Organizational Psychology (Illinois: Richard D. Irwin, Inc., 1987), p. 484.

[30]Bengt Karlof dan Svante Ostblom, Benchmarking: A Signpost to Excellence in Quality and Productivity (London: John Wiley & Sons, Ltd., 1994), p. 20.

[31]John W. Hunt, Managing People at Work: A Manager’s Guide to Behaviour in Organization (London: McGraw-Hill, Inc., 1992), p. 242.

[32]Hersey, Blanchard dan Johnson, op. cit., pp. 90-91.